Benarkah Profesi Dokter Muda Rawan Depresi? Begini Penjelasannya
Profesi dokter seringkali digambarkan sebagai profesi yang mulia dan penuh prestise. Namun, di balik gemerlapnya, profesi ini juga menyimpan berbagai tantangan dan tekanan yang tak jarang berujung pada masalah kesehatan mental, terutama depresi.
Depresi pada dokter muda merupakan isu yang akhir-akhir ini semakin mendapat perhatian, bahkan dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa angka prevalensi depresi pada populasi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Lantas, benarkah jika profesi dokter muda rawan depresi? Apa saja faktor-faktor yang berkontribusi terhadap depresi pada profesi ini? Bagaimana cara menanganinya? Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai depresi pada dokter muda, mulai dari faktor-faktor penyebabnya, gejala yang muncul, hingga langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencegah dan mengatasinya.
Apa Itu Depresi?
Menurut dr. Nining Gilang Sari, MKedKJ, SpKJ selaku Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa di RSJ Tampan Provinsi Riau, dijelaskan jika depresi merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari tiga gejala utama. Pertama, mood yang sedih atau suasana perasaan yang sedih dan depresif, yang kedua hilangnya minat, dan yang ketiga adanya penurunan dari kondisi tubuh seperti mudah capek atau mudah lelah.
Perlu dipahami bahwa depresi bukan hanya sekadar perasaan sedih atau kecewa biasa. Depresi merupakan gangguan kesehatan mental yang serius dan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk pekerjaan, hubungan sosial, dan kesehatan fisik.
Depresi yang Dirasakan Dokter Muda
Belum lama ini, laporan skrining Kementerian Kesehatan mengungkap bahwa ada 2.716 peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Indonesia mengalami gejala depresi, atau mencapai 22,4% dari jumlah total peserta PPDS yang disurvei pada Maret 2024. Hal ini tentu menuai pembicaraan, khususnya di kalangan organisasi kedokteran seperti Ikatan Dokter Indonesia.
“Sejak keluar hasil laporan skrining terkait isu ini dari Kementerian Kesehatan, kami sebenarnya tidak ingin salah bicara, karena isunya sangat sensitif dan berhubungan dengan organisasi perhimpunan dan organisasi profesi dengan Kemenkes. Pada dasarnya, kalau kita menilai secara luas, penelitian serupa itu sudah pernah dilakukan. Hanya mungkin tidak diangkat, meskipun sebenarnya pernah dipublikasikan, karena saya juga menemukan beberapa jurnal yang menilai tingkat depresi pada Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS). Hanya saja mungkin tidak terlalu diekspos besar-besaran,” jelas dr. Nining.
Meski begitu, dokter yang juga praktek di RS Hermina Pekanbaru ini mengatakan jika pada dasarnya yang harus ditekankan adalah untuk menilai depresi atau tidak itu merupakan tindakan yang panjang, karena harus ada observasi dan wawancara.
“Kalau kita hanya melakukan ‘skrining’, itu berarti penahbisan, yang artinya langkah awal. Kita tidak bisa menyebut seseorang itu depresi hanya karena dia mengisi rating scale. Rating scale itu ada banyak sekali untuk depresi yang diakui dan divalidasi di Indonesia. Kita tidak bisa menentukan seseorang itu mengalami depresi tanpa melihat orangnya. Kalau hanya dari skrining, kita tidak tahu apakah dia salah mencontreng dan ada juga beberapa faktor human error-nya,” katanya.
Disebutkan jika terkait kasus depresi pada dokter spesialis itu ada banyak sekali faktor penyebabnya, salah satunya faktor tekanan. Dokter spesialis setidaknya dituntut untuk menjalani jam kerja yang panjang, kemampuan ekonomi yang cukup, dan lain-lain.
“Saya sendiri merasakan waktu sekolah dulu, itu setengah jalan sempat menggunakan biaya mandiri. Kebetulan saat itu saya sudah mempunyai anak ketika menempuh PPDS. Jadi, jika dilihat dari segi ekonomi kan sangat berpengaruh. Tapi, Alhamdulillah di tengah jalan dapat tubel dari Kemenkes. Jadi. sangat terbantu sekali untuk urusan ekonomi. Karena pada saat itu kondisinya saya tidak bisa kerja, karena waktu zaman itu SIP nya hanya bisa digunakan untuk PPDS. Kita tidak punya SIP yang memperbolehkan bekerja sebagai dokter umum atau lain-lainnya,” ungkap dr. Nining.
Dengan kata lain, faktor ekonomi juga bisa jadi penyebab depresi, lalu jam tugas yang tidak tentu waktunya atau bisa dibilang manajemen waktunya mempengaruhi adanya kemungkinan depresi yang muncul saat PPDS.
Hal-hal yang Perlu Dilakukan Ketika Mengalami Depresi
Berbicara soal topik depresi, dr. Nining mengungkapkan jika hal paling utama untuk mencegah sesuatu itu adalah kita harus tahu ‘sesuatu’ itu apa. Ibaratnya kalau kita tidak mau jatuh, kita harus tahu kalau jalan di depan itu berlubang.
Selain dari tiga gejala utama depresi, ada gejala tambahan yang kadang-kadang dikeluhkan, seperti kurang konsentrasi, penurunan dan peningkatan napsu makan, perubahan pola tidur, dan yang agak berat adalah keinginan untuk menyakiti dan mengakhiri hidup.
“Kita tahu kalau gejala depresi itu bisa terjadi karena kondisi-kondisi seperti yang sudah disebutkan. Nah, itu yang harus dihindari. Misalnya, kita tahu ada kemungkinan merasa tertekan karena ada senioritas di lingkungan belajar atau dari tingkat pendidikan terasa berbeda perlakuannya. Ketika merasakan hal tersebut, yang bisa dilakukan adalah berkomunikasi supaya lingkungan kerja menjadi lingkungan yang lebih baik, dan itu tidak akan terjadi tanpa adanya peran serta dari pihak rumah sakit tempat mereka bekerja, pihak prodi tempat mereka bersekolah, dan lain-lain. Karena banyak sekali program yang bisa dibantu, misalnya kalau kami di USU itu ada program olahraga, bermusik, pengajian, sampai arisan,” tuturnya.
dr. Nining menambahkan jika semua itu dilakukan baik dengan senior, junior, bahkan sampai guru besar. Supaya terbentuk suasana yang nyaman dan tidak lagi berada dalam batasan hubungan antara atasan dan bawahan, akan tetapi berada dalam ruang lingkup yang sama untuk memberikan pelayanan kesehatan sambil belajar.
“Kalau jadi PPDS mungkin kalau lagi merasa stres bisa mengambil cuti dan mengambil waktu-waktu khusus untuk bisa beristirahat dengan cukup, memiliki pola tidur yang benar, dan quality time bersama keluarga dan orang-orang terdekat. Mereka yang mengambil PPDS itu biasana berjauhan dengan keluarga, jadi jika ada waktu yang senggang, berikanlah waktu kita untuk bersama-sama menikmati waktu dengan mereka. Hal itu bisa membantu untuk meningkatkan kadar serotonin dalam tubuh supaya merasa bahagia,” terangnya.
Data Indeks Terkait Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia Pada 2023
Berdasarkan data yang dimuat laman Our Better World yang berasal dari data Kementerian Kesehatan tahun 2013, terdapat sebanyak 9 juta penduduk Indonesia mengalami depresi. Dari data tersebut diketahui terdapat 3,4 persen kasus bunuh diri per 100.000 orang di Indonesia. Lalu, sekitar 16 juta orang berusia 15 tahun ke atas ditemukan merupakan kasus bunuh diri yang diawali dengan gejala kecemasan dan depresi/
Selain itu, menurut data yang dilansir dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, tercatat lebih dari 19 juta penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 15 tahun mempunyai gangguan mental emosional. Lalu, terdapat lebih dari 12 juta penduduk dengan rentang usia yang sama diketahui mengalami depresi dan memungkinkan mereka melakukan aksi bunuh diri.
Sementara itu, menurut Data Sistem Registrasi Sampel yang dihimpun Badan Litbangkes 2016 ditemukan terdapat 1.800 orang melakukan bunuh diri setiap tahunnya. Adapun berdasarkan data yang dimuat oleh World Population Review 2023 menyebutkan jika di Indonesia ditemukan sebanyak 9.162.886 kasus depresi dengan prevalensi 3,7 persen. Setiap tahunnya jumlah penduduk Indonesia dapat bertambah sampai lebih dari 3 juta jiwa dimana saat ini sudah menyentuh total angka 278.16.661 jiwa.
Depresi Bisa Menimpa Siapapun
Menurut dr. Nining, depresi tidak terbatas hanya menimpa PPDS saja, akan tetapi dokter yang sudah bertemu dengan kondisi profesionalnya juga dapat merasakan hal serupa. Terkadang, tidak sedikit dokter yang merasa tidak berdaya ketika menolong pasien.
Pada akhirnya, dokter juga harus menyadari kalau mereka adalah seorang manusia yang memiliki keterbatasan. Tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada dokter memang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, akan tetapi dokter juga harus tahu kalau mereka sebagai manusia yang mempunyai kekurangan dan tidak mungkin sempurna untuk selalu bisa menyembuhkan orang lain. Dokter itu hanya perantara dari Yang Maha Kuasa
Hampir semua orang dari berbagai kalangan rawan terkena depresi, karena depresi itu tidak memandang orang. Bahkan seseorang yang mungkin hidupnya terlihat baik-baik saja, tidak ada kekurangan, bisa juga mengalami depresi tanpa kita duga sebelumnya. Kita tidak pernah tahu depresi itu akan menimpa siapa, entah itu kepada dokter, jaksa, dan profesi-profesi lainnya.
“Saya sendiri pernah membuat penelitian tentang depresi dan beban kerja pada orang kejaksaan. Mereka termasuk memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami depresi. Depresi juga tidak memandang usia, semua orang bisa terkena depresi,” bebernya.
Depresi bukan hanya penyakit yang menyerang para dokter. Gangguan mental ini dapat menimpa siapapun, tanpa memandang profesi, usia, ataupun latar belakang. Tentunya penting untuk menyadari gejala depresi dan mencari bantuan profesional jika diperlukan. Dengan pengobatan yang tepat, depresi dapat diatasi dan penderitanya dapat kembali menjalani kehidupan yang normal dan produktif. Ditambah lagi dengan edukasi dan kesadaran yang tinggi, kita dapat membantu diri sendiri dan orang lain untuk terhindar dari depresi.