Banner

Menelisik Problematika Dokter Usia Muda di Berbagai Negara Asia

Ditulis oleh: Dr. Maizan K Nissa (Sekretaris Bidang Penelitian, Pengembangan dan Survey Keprofesian Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Sekretaris Junior Doctors Network Ikatan Dokter Indonesia)

Kesehatan mental menjadi bagian penting dari kehidupan seseorang. WHO mendefinisikan sehat sebagai keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap individu dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi. 

Ada empat aspek yang terkandung dalam definisi ini yang meliputi sehat fisik, yaitu tidak sakit, tumbuh dan berkembang secara wajar serta tidak ada hambatan; sehat psikis yaitu merasa senang dan bahagia, dapat menerima kelebihan dan kekurangan diri serta lingkungan serta mampu melakukan kegiatan yang bermanfaat; sehat sosial yang digambarkan dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain dan menyesuaikan diri dengan lingkungan; serta sehat spiritual yaitu mampu menjalani makna hidup, percaya adanya Tuhan dan anugerah-Nya serta tidak adanya konflik agama baik internal maupun eksternal.

Dalam pengertian ini, dapat diartikan bahwa dalam memandang kesehatan melibatkan seluruh aspek, baik individu dalam sebuah sistem yang menyeluruh (rohani dan jasmani), identifikasi lingkungan internal dan eksternal serta penghargaan terhadap eksistensi dan peran individu dalam hidup, dimana kesehatan mental menjadi salah satu pondasi terkuat untuk menopang kokohnya seseorang.

Penulis : Dr. Maizan K Nissa

Memasuki usia dewasa, seorang individu akan dihadapkan realitas kehidupan yang beragam yang membuat hidup terasa lebih ‘roller coaster’ dari etape hidup sebelumnya. Kehidupan remaja yang diidentikan sebagai pencarian jati diri serta fase dewasa muda sebagai pencarian eksistensi diri akan menemui puncak emosional tertinggi, yaitu quarter-life crisis

Quarter-life crisis secara harfiah didefinisikan sebagai krisis seperempat abad, yaitu periode saat seseorang berusia 25-30 tahun dimana seseorang tersebut akan mempertanyakan tujuan hidup di tengah ketidakpastian akan masa depan. Pada fase ini, biasanya seseorang akan mengalami pergolakan emosional yang cukup signifikan seperti perasaan cemas, tidak nyaman, tertekan, overthinking, kebingungan dengan arah kehidupan, perasaan bersalah akan keputusan yang diambil sampai perasaan putus asa dan depresi. 

Keputusan tentang karir, percintaan, finansial, keamanan diri secara fisik dan kehidupan sosial menjadi trending topic pada fase tersebut. Meskipun dalam ilmu psikiatri, terminologi quarter-life crisis tidak termasuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) yang biasa digunakan dalam penegakan diagnosis gangguan mental. 

Namun, jika krisis ini tidak dihadapi dan terlampaui dengan baik, maka akan menimbulkan gangguan mental organik seperti gangguan cemas, depresi bahkan psikotik yang berpotensi pada tindakan melukai diri sendiri dan orang lain.

Alexandra Robbins dan Abby Wilner dalam bukunya yang berjudul Quarter Life Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties menyebutkan jika quarter-life crisis merupakan tantangan yang dihadapi oleh individu dewasa akhir terkait karir, keuangan serta hubungan dengan orang lain. Pada sebuah survei menunjukkan 75 persen responden pernah mengalami krisis ini di usia rata-rata 27 tahun. 

Ada empat fase seseorang mengalami quarter-life crisis menurut Harvard Business Review, yaitu:

  1. Merasa terjebak: Baik secara karir, relasi dengan orang lain bahkan keputusan finansial. Ada ketidakyakinan akan pilihan yang sudah atau akan diambil.

  2. Mengasingkan diri: Fase ini seseorang cenderung menarik diri dari pergaulan, keluarga atau pasangan. Fase ini akan masuk pada fase kesepian dan terasingkan.

  3. Refleksi diri: Pada fase ini seorang individu akan mengingat perjalanan yang dilakukan dan mempertanyakan hal yang ingin dilakukan, termasuk passion, karir dan kehidupan sosial.

  4. Fase Pemahaman: Pada fase akhir ini, seseorang telah menemukan motivasi yang lebih besar sehingga dapat bangkit dari kecemasan dan ketidakberdayaan akan masa depan. Pada beberapa penelitian, tidak semua individu mencapai fase ini. Sebagian terjebak pada fase 1 dan 2 dan bila tidak ditangani akan jatuh pada gangguan mental.

Etape kehidupan seorang dokter memiliki pola yang menarik dibandingkan dengan individu seusianya untuk dicermati bersama. Pola ini bukan hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi hampir seragam di berbagai belahan dunia. Seorang dokter yang mencapai usia seperempat abad akan dihadapkan pada kenyataan hidup setelah perjuangan menempuh panjangnya pendidikan profesi kedokteran. 

Tuntutan internal dan eksternal menjadi salah satu faktor yang tidak dapat dihindarkan sehingga seorang dokter muda dapat mengalami quarter-life crisis. Sampai saat ini, dokter masih diidentikkan sebagai profesi yang memiliki prestige, produktivitas, dan finansial yang baik. 

Meskipun realitas di lapangan anggapan kesiapan finansial dan kemantapan karir untuk dokter-dokter usia <40 tahun masih terasa jauh api dari panggang. Krisis ini pun kerap kali dapat berlangsung lebih panjang pada seorang dokter dibandingkan individu berusia sama dengan profesi yang berbeda, di luar kedokteran. 

Pun memiliki double burden atau beban ganda yang menyertainya. Beberapa faktor penyebab seorang dokter muda rentan mengalami double burden of quarter-life crisis yakni sebagai berikut:

  1. Durasi Pendidikan Profesi Kedokteran

  2. Sistem Pendidikan Profesi Kedokteran

  3. Minimnya Paparan Literasi di Luar Bidang Ilmu Kedokteran

Seorang dokter muda setidaknya harus menempuh 5.5 tahun pendidikan profesi di luar tanggung jawab fase internship ke daerah. 3,5 tahun pendidikan sarjana kedokteran dan 2 tahun profesi sebagai Co-Assistant di rumah sakit. Setelah lulus sebagai dokter muda, mereka harus mengabdi di berbagai daerah sebagai dokter internship dengan gaji seadanya, bahkan beberapa di antaranya di bawah UMR.

Dengan total 6.5 tahun, jika seseorang memulai pendidikan kedokteran usia 18 tahun, maka sampailah ia di usia seperempat abad setelah menyelesaikan internship. Di usia ini, mereka baru dihadapkan dengan persoalan kehidupan sebenarnya, di luar masalah kesehatan dan kedokteran yang selama ini mereka hadapi sehari-hari. 

Kondisi ini rentan menyebabkan kebingungan, kecemasan dan perasaan tertekan jika tidak mampu diantisipasi sebelumnya. Di saat individu seusianya di luar bidang kedokteran, sudah menyelesaikan pendidikan 3-4 tahun lebih dahulu dan lebih dulu mengalami masa-masa rentan krisis ini.

Durasi pendidikan yang panjang juga senada dialami oleh rekan-rekan di Negeri Jiran. Dr. Xi Mun dari Junior Doctor Network Malaysia menyebutkan setidaknya dibutuhkan waktu 2 tahun untuk menyelesaikan Housemanship (HO), up to 7 years untuk menjadi seorang dokter (Contract MO) dan diperlukan 4 tahun pendidikan lanjut untuk menjadi seorang spesialis. 

Dr. Adeel Riaz, MBBS dari Pakistan juga menyebutkan durasi pendidikan panjang dialami dokter- dokter di Pakistan. Mereka harus menempuh 5 tahun sekolah kedokteran (medical school), 1 tahun mandatory clinical internship dan 4 tahun untuk postgraduate training. Kedua pernyataan ini dikemukakan pada multilateral meeting terkait Regulation of Medical Residents’ Stipends and Working-Hour Salary Compensations Across The World yang diinisiasi Junior Doctors Network Ikatan Dokter Indonesia pada 27 April 2024 lalu.

Sistem pendidikan profesi kedokteran di dunia terdiri dari 2 tipe yaitu university based dan hospital based. Masing-masing sistem memiliki tantangan tersendiri, termasuk kompetisi antar dokter, kebutuhan eksistensi diri, working hours, case load, dan kompensasi berupa gaji atau insentif. 

Terlebih lagi pada tingkat pendidikan lanjutan spesialisasi, seorang residen belajar dan bekerja penuh di rumah sakit pendidikan dan tidak diperkenankan berpraktek di luar rumah sakit yang sudah ditentukan. Ketimpangan akan sekuritas finansial, tanggung jawab dan beban kerja menjadi faktor penyumbang seorang dokter muda sulit untuk keluar dari beban ganda quarter life crisis

Bahkan di negara berkembang seperti Jepang dengan sistem pendidikan yang maju dan terstruktur, para dokter muda tidak luput dari gejala quarter-life crisis, yang berujung pada tindakan self sabotage dan bunuh diri.

Sistem dan durasi pendidikan yang menuntut seorang dokter muda untuk all-out dalam masa pendidikan, menyebabkan sebagian besar dokter muda tidak cukup waktu untuk mempelajari bidang ilmu lain seperti literasi keuangan, komunikasi interpersonal, komunikasi massa dan selfbranding

Hal ini juga berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada kesiapan individu seorang dokter untuk menentukan arah kehidupan. Timeline hidup yang dimulai lebih lambat karena proses pendidikan yang panjang, harus disertai dengan pengetahuan yang cukup sehingga tidak ‘hilang’ di tengah perjalanan. 

Namun, dengan perkembangan teknologi dan media massa, gap ini dapat dikurangi secara signifikan. Para dokter muda semakin tanggap pada literasi di luar bidang kedokteran bahkan diantaranya mendalami bidang tersebut sampai menjadi praktisi.

Pada pertemuan multilateral untuk memperingati World Day for Safety and Health at Work, yang diikuti oleh 9 Negara termasuk Indonesia, Singapore, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, China, Jepang, Korea Selatan dan Pakistan, mengemuka setidaknya 3 masalah dasar yang dialami oleh dokter- dokter muda usia <40 tahun di berbagai negara, termasuk dokter yang sedang menempuh program residensi, yaitu ketidakpastian sekuritas finansial terkait kompensasi/gaji, regulasi jam kerja yang belum terstandarisasi dan perlindungan hukum saat menjalankan praktek profesi kedokteran.

Sekuritas Finansial terkait Kompensasi dan Gaji

Pembahasan take home pay selalu menjadi isu yang menarik. Sebagai gambaran dokter umum dan PNS baru dengan masa bakti 5-10 tahun (Golongan III A) memiliki gaji pokok Rp2,4 juta – Rp2,7 juta/bulan. Jumlah ini dapat ditambah dengan kapitasi BPJS sekitar Rp500.000 - Rp1 juta. 

Sehingga gaji akhir seorang dokter umum PNS dalam rentang 2.9 – 3.7 juta per bulannya (USD 240). Sedangkan dokter umum di RS Swasta memiliki upah rata-rata Rp 5 jt – 6 juta per bulan (USD 369). Sebagai perbandingan, berikut tabel take home pay seorang dokter umum di berbagai negara di Asia.

  • Thailand: Civilian doctors 18.000 – 20.000 Bath (USD 500-540) Military doctors 21.000 – 22.000 Bath (USD 570 -590)

  • Pakistan:  House officers = 70.000 PKR (USD 240) Medical officers = 90.000 PKR (USD 322)

  • Jepang: Doctors in late 20 yo = USD 3982 – 4678 Doctors in late 30 yo = USD 6276 – 7397

  • Australia:  80.000 – 110.000 AUD

  • India: 75.000 – 85.000 Rupee, raised to 100.000 Rupee (USD 1198)

  • Filipina: 310.000 Peso (USD 5374)

Survei Kesejahteraan Dokter Umum yang rutin dilakukan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menunjukkan hal serupa, hanya 5,53 persen dokter umum yang mendapatkan penghasilan sesuai rekomendasi IDI yaitu Rp 12.500.000. 

Sebanyak 94,47 persen tidak mendapatkan penghasilan sesuai rekomendasi meskipun memiliki jam kerja sesuai UU Ketenagakerjaan yaitu 40 jam. Sebanyak 11.02 persen dokter Indonesia mendapat gaji kurang dari Rp 3 juta per bulannya, terutama dokter di pelosok daerah.

Jumlah yang jauh dari standar rekomendasi ini pun otomatis akan hilang pada saat seorang dokter muda mengambil program spesialis. Seorang residen di Indonesia, tidak mendapat gaji saat melakukan praktek di rumah sakit. Terhitung hanya RS Jantung Harapan Kita/ FKUI yang memberikan kompensasi bagi para residen sesuai tahap pendidikan dan besaran tanggung jawabnya, yakni tahap junior, madya dan senior atau chief

Di beberapa negara Asia, seperti Malaysia, Thailand, India, Jepang dan Korea Selatan, seorang residen mendapat kompensasi sesuai jam kerja dan spesialisasi yang diatur dalam kebijakan rumah sakit atau universitas. 

Sebagai contoh, di Thailand, on-call duty salaries berkisar 11.000 – 15.00 bath/bulan (USD 300-400), sedangkan di Malaysia berkisar Rp15 juta. Meskipun angka kompensasi di bawah nominal gaji yang berlaku, namun dukungan finansial sangat membantu seorang dokter muda di masa rentan quarter life-crisis.

Ketidakpastian finansial di kalangan dokter muda menjadi masalah utama dan pertama yang harus dihadapi tatkala lepas dari bangku pendidikan. Stres finansial di kalangan dokter ini ditandai dengan rasa khawatir, cemas dan ketegangan emosional yang berkaitan dengan pengeluaran, utang dan beban keuangan lainnya. 

Hal ini juga dapat disebabkan oleh tekanan berat dari pekerjaan dan perasaan tak dihargai sepantasnya setelah memikul tanggung jawab. Dukungan keluarga, lingkungan kerja dan sosial memiliki peran penting dalam mengatasi beban ganda fase seperempat abad seorang dokter muda. Literasi finansial yang mumpuni juga berperan signifikan dalam melampaui masa-masa rentan ini.

Regulasi Jam Kerja yang Belum Terstandarisasi

Peraturan perundang-undangan yakni UU No 13 tahun 2003 Pasal 77 tentang ketenagakerjaan mengatur jumlah jam kerja standar yakni 40 jam perminggu. Namun, kenyataan di lapangan, seorang dokter yang berpraktek pada satu tempat praktik saja memiliki rata-rata jam bekerja selama 42 jam per minggu. 

Sedangkan seorang dokter residen di Indonesia dapat bekerja mencapai 60-80 jam per minggu, dimana pada suatu kondisi, seorang residen dapat bekerja nonstop 36 jam. Panjang waktu bekerja disertai beban tanggung jawab menjadi dilematik jika dibenturkan dengan doctor safety and patient safety

Seorang dokter dibutuhkan keahliannya untuk pasien, di sisi lain kelelahan pada dokter juga membuat fokus dan layanan tidak mencapai kualitas prima. Junior Doctors Network Ikatan Dokter Indonesia, 2023, mempublikasikan gambaran perbandingan jam kerja di negara Asia, Afrika dan Australia seperti yang tergambar pada infografik berikut ini.

Penelitian Lin, et al, pada tahun 2021 menunjukkan kejadian burnout pada dokter 2x lipat terjadi bila seorang dokter berpraktik >60 jam dan meningkat 3x lipat jika berpraktek >74 jam. Caruso, et al juga menunjukkan, kejadian medical error yang berhubungan dengan kelelahan terjadi pada 40 persen kasus medical error

Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pasien akan kecepatan layanan, komunikasi efektif dokter dan kesalahan pengambilan diagnostik. Efek lain dari panjangnya waktu kerja tergambar pada penelitian Morales, et al (2019) yaitu peningkatan marker inflamasi hs-CRP dan fungsi axis hipotalamus-pituitary yang terganggu dengan impulsivitas lebih tinggi, proses kognisi lebih lambat dan fungsi eksekutif yang terganggu pada dokter yang telah melalui shift 26 jam. 

Kejadian kecelakaan lalu lintas yang disebabkan kelelahan dokter juga kerap dilaporkan di berbagai negara. Perubahan pada sistem neuropsikologis juga disebabkan oleh rendahnya jam istirahat di kalangan para dokter.

Perasaan terjebak pada rutinitas dan panjangnya waktu bekerja membuat seorang dokter menjadi burnout dan dapat berlanjut pada depresi. Maki Okamoto dari JDN Japan mengemukakan sebanyak 40% dokter-dokter junior di Jepang mengalami burn out yang disebabkan panjangnya waktu bekerja dan banyaknya pekerjaan rutin. 

Reformasi terkait regulasi jam kerja untuk kalangan dokter terus diperjuangkan. Limit maksimal jam kerja untuk dokter umum yaitu 960 jam/tahun (80 jam/bulan), dokter di suburban 1860 jam/tahun dan dokter junior 1860 jam/tahun (155 jam/bulan). 

Dukungan lingkungan kerja dan regulasi lokal maupun nasional sangat dibutuhkan agar terjadi keseimbangan antara kualitas pelayanan pasien dan kesehatan dokter, karena pada keadaan ini fase 1(merasa terjebak) dan fase 2 (pengasingan diri) dari quarter-life crisis sangat tinggi terjadi.

Perlindungan Hukum Saat Menjalankan Praktek Profesi Kedokteran

Dalam menjalankan profesi kedokteran, seorang dokter harus dihadapkan pada situasi hidup mati seseorang. Komunikasi efektif, kecepatan dan ketepatan pengambilan keputusan, kerap kali tidak didukung dengan sistem pelayanan kesehatan maupun administrasi yang cepat pula. Hal ini sering menjadi sumber benturan antara dokter, pasien dan keluarga pasien. 

Perlindungan hukum kepada dokter yang bekerja di rumah sakit, fasilitas kesehatan, wilayah konflik maupun daerah bencana mutlak dibutuhkan oleh setiap dokter. Junior Doctor Association Pakistan (YDAP) kerap kali merilis berita terkait protes dan pembelaan terhadap dokter-dokter muda Pakistan yang mendapatkan perilaku agresif dan kekerasan saat menjalankan praktik kedokteran. 

Ahmed et al (2017) menyebutkan bahwa agresi dan kekerasan terhadap dokter layanan primer dilaporkan umum terjadi di Pakistan, namun hingga saat ini belum ada penelitian yang terdokumentasi mengenai masalah tersebut. Dalam penelitiannya disebutkan 85 persen dokter pernah mengalami kekerasan ringan, 62 persen mengalami kekerasaan sedang dan sekitar 38 persen kekerasan berat. 

Beberapa dokter mengungkapkan lebih dari satu bentuk agresi yang mereka hadapi dalam 12 bulan sebelumnya. Pelecehan dan agresi verbal adalah jenis penganiayaan yang paling sering dihadapi oleh dokter dari pasien atau keluarga pasien.

Kejadian kekerasaan pada dokter internship juga pernah terjadi di Lampung Barat pada tahun 2023. Pentingnya regulasi hukum, pendampingan oleh organisasi profesi dan penjaminan keselamatan serta keamanan sebelum bertugas seharusnya dapat diimplementasikan dalam bentuk payung undang-undang. 

Hal ini untuk menunjang pemerataan distribusi dokter ke seluruh wilayah Indonesia, sehingga pelayanan kesehatan yang dekat dapat terwujud tanpa adanya ancaman terhadap para tenaga kesehatan Indonesia.

Perlu Adanya Keterlibatan Negara 

Dokter-dokter muda usia <40 tahun yang tergabung dalam Junior Doctors Network tersebar di berbagai negara. Selain JDN yang dinaungi World Medical Association (WMA), beberapa organisasi serupa seperti Youth Doctor Asia (YDA) yang terdapat di Pakistan dan India, World Young Doctors Organization, European Junior Doctors (EJD) menunjukkan besarnya eksistensi dokter muda. 

Menurut data pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), sebanyak 121.821 (61,2 persen) dokter berusia ≤40 tahun di Indonesia. Sebanyak 152.631 merupakan dokter umum dan 46.773 merupakan dokter spesialis. Dokter berjenis kelamin perempuan mendominasi dengan jumlah 118.038 orang dan hanya 81.052 dokter yang berjenis kelamin laki-laki. Angka yang besar ini merupakan aset atau modal besar bagi sebuah negara untuk membangun layanan kesehatan yang baik, maju serta menyeluruh dan merata di seluruh Indonesia.

Namun, jika jumlah personel ini tidak dikelola dengan baik, baik dalam pembinaan pengetahuan, skill dan juga kesehatan mental, angka ini hanyalah semu belaka. Dokter muda secara fitrah memang dihadapkan oleh berbagai kebimbangan akan hidup, gejolak ego dan ambisi masa muda, serta keinginan eksistensi diri yang tinggi. 

Di sisi lain, tanggung jawab yang dipikul di usia muda dalam bidang kesehatan, serta tuntutan sosial dan pendidikan, menjadikan dokter muda sangatlah rentan mengalami quarter-life crisis. Oleh sebab itu, dukungan dari berbagai pihak wajib hadir di sana, termasuk hadirnya negara.

Sejak 11 tahun yang lalu, UU Pendidikan Kedokteran no 13 Tahun 2013 dalam pasal 31 dengan jelas menyebutkan solusi dari 3 masalah dasar para dokter muda yang telah dikemukakan di atas. Bahwa setiap mahasiswa berhak memperoleh perlindungan hukum dalam mengikuti proses belajar mengajar, memperoleh insentif di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan, serta memperoleh waktu istirahat sesuai dengan ketentuan. 

Namun, sudah lebih satu windu berlalu, amanat ini tak kunjung menemui implementasinya. Dan para dokter muda, masih harus berjuang menghadapi double burden of quarter-life crisis dengan tangan, kaki dan pundaknya masing-masing. 

Semoga berbagai kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan, keberlangsungan dan keamanan para dokter muda ini segera terealisasi nyata. Karna negara wajib hadir bersama putra putri terbaiknya yang selalu siap berkarya untuk bangsa.

Bagikan Artikel Ini
Hotline