[OPINI] Pemberhentian Prof. dr. Zainal Muttaqin, PhD
Pemberhentian Prof. dr. Zainal Muttaqin, PhD., Sp.BS(K) dari RS. dr. Kariadi Semarang sebagai dokter Mitra masih menyisakan keprihatinan mendalam pada diri penulis, meskipun surat pemberhentiannya telah diberikan kepada yang bersangkutan sekitar setengah bulan yang lalu.
Nurani penulis yang telah menjalani profesi advokat selama sekitar 34 tahun dan 20 tahun terakhir banyak berkhidmat di bidang medikolegal, sulit menerima bentuk pemberhentian serupa itu.
Dhahirnya, pemberhentian itu dilakukan oleh Direktur Utama RS. dr. Kariadi, namun dalam konteks Relasi Kuasa haruslah pemberhentian itu dibaca dilakukan oleh Menteri Kesehatan cq. Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes, cq. Dirut RS. dr. Kariadi. Dengan kata lain Dirut RS. dr. Karyadi hanyalah alat kekuasaan Menkes saja untuk memberhentikan Prof. Zainal.
Alasan pemberhentiannya juga sudah luas diketahui masyarakat yaitu karena tulisan-tulisan beliau yang mengkritisi berbagai pernyataan Menkes terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan dunia kedokteran umumnya di Indonesia.
Penulis mengikuti apa yang disampaikan oleh Menkes maupun tanggapan dari Prof. Zainal. Dalam pandangan penulis, muatan materi yang disampaikan keduanya sama-sama tajam, cukup banyak bernada emosional, pun pada bagian-bagian tertentu terasa “kasar”.
Dalam rentang waktu cukup panjang semuanya masih berjalan simetris. Tetapi ketika Menkes menggunakan institusi Kemenkes untuk memberhentikan Prof. Zainal dari praktiknya di RS. Kariadi, situasi menjadi asimetris.
Seandainya saja Prof. Zainal diberhentikan dari jabatan struktural di Kemenkes, mungkin kita masih bisa mencari pembenarannya dari segi ketidakpatuhan atau sikap dis-subordinasi seorang bawahan kepada atasan.
Namun yang terjadi adalah Prof. Zainal diberhentikan sebagai tenaga medis dalam hubungan kerja sama kemitraan atau dokter Mitra RS. Kariadi —bukan dalam hubungan struktural mengingat beliau PNS Kemendikbud— setelah menjalani kerja sama pelayanan medis di sana hampir 30 tahun dan menjadi pionir operasi epilepsi hampir 15 tahun.
Saya sungguh tidak habis pikir terhadap abuse of power serupa ini bisa-bisanya dilakukan oleh seorang Menkes yang memiliki reputasi terbilang gemilang ketika masih berkarir di dunia perbankan.
Pasal-pasal yang dijadikan alasan untuk memberhentikan Prof. Zainal adalah pasal-pasal terkait dengan Perjanjian Kerja Dokter Mitra atau hubungan kemitraan dalam pelayanan medis di RS. Kariadi, tidak ada urusannya dengan polemik yang berlangsung antara Menkes dengan Prof. Zainal.
Yang lebih buruk dari pemberhentian itu adalah bahwa Menkes selaku representasi Negara di bidang Kesehatan, tentu menyadari sepenuhnya amanat Konstitusi yang memberi tanggung jawab kepada Negara untuk menyediakan fasyankes yang layak bagi masyarakat.
Sekalipun Prof. Zainal telah mendidik beberapa dokter bedah epilepsi yang dapat meneruskan layanan kedokterannya, namun tindakan Menkes memberhentikan Prof. Zainal, alih-alih menyediakan fasyankes yang layak bagi masyarakat, yang terjadi justru menghambat pemberian layanan kesehatan yang layak, sebuah “obstruction”.
30 April 2023.
DR. Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H.
Praktisi dan Akademisi Medikolegal