Banner

PB IDI Gelar Expert Meeting for Iron Deficiency Anemia Management

Belum lama ini, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melakukan Expert Meeting for Iron Deficiency Anemia Management pada Kamis, 25 Juli 2024 bertempat di Double Tree by Hilton Jakarta. Kegiatan Expert Meeting for Iron Deficiency Anemia Management ini dirumuskan Bersama dengan Pusat Kesehatan dan Gizi Manusia Universitas Gadjah Mada.

Acara ini dihadiri oleh para expert kesehatan di bidangnya. Narasumber yang terlibat yakni Dr. Ulul Albab, SpOG (PB IDI), DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K) (IDAI), DR. Dr. Yudianto B Saroyo, Sp.OG(K), MPH (POGI) serta beberapa penanggap yang di antaranya Dr Nanda Maulidia (Dokter Umum Puskesmas), Dr Sandy Prasetyo Sp.OG (Edukator Kesehatan), Dedi Supratman SKM MKM (Ketua Umum PP IAKMI), Dr Dyana Safitri Sp.OG (Komite Gizi dan Stunting PB IDI), Dr Rosita Rivai, MM (Bidang Kemitraan dan Hubungan Antar Lembaga PB IDI), DR Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K), MPH (Ketua UKK Hemato Onkologi IDAI), DR. dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K) - (Ketua Unit Kerja Koordinasi Nutrisi Penyakit Metabolik IDAI), Dr Nur Ashari SpGK (Ketua PP PDGKI), dan Dr Andri Welly, Sp.OG (Praktisi Kedokteran).

Tujuan dilakukannya Expert Meeting for Iron Deficiency Anemia Management ini untuk menyamakan persepsi tentang skrining,  pencegahan, dan penanganan anemia, termasuk ADB (anemia defisiensi besi). Selain itu, dilakukan juga perumusan usulan kebijakan skrining anemia dan skrining risiko defisiensi zat besi untuk anak usía 0-14 tahun dalam bentuk Policy Brief, merumuskan usulan kebijakan pencegahan & penanganan anemia pada anak usía 0-14 tahun melalui suplementasi, fortifikasi pangan tinggi zat besi, dan makanan yang tinggi akan zat besi dalam bentuk Policy Brief.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban anemia yang tinggi. Berdasarkan data yang didapatkan dari Survey Kesehatan Indonesia 2023, prevalensi anemia pada anak usia 0-4 tahun adalah 23,8 persen dan pada anak usia 5-14 tahun sebesar 16,3 persen. Selanjutnya, data dari WHO juga menyebutkan jika sebanyak 42-50 persen kasus anemia pada anak dan wanita umumnya terjadi akibat defisiensi besi (Pasricha S.L, et al. 2020).

Kondisi ini menjadi suatu tantangan dalam upaya mencapai Indonesia Emas 2045, karena pada usia ini merupakan usia pertumbuhan dan perkembangan anak dimana kondisi anemia dapat mempengaruhi bukan saja Kesehatan Anak melainkan juga mempengaruhi kegiatan belajar mengajar sehari-hari.

Sekjend PB IDI Dr. Ulul Albab, SpOG dalam pembukaan expert meeting mengatakan jika anemia bisa terjadi pada siapa saja, bukan hanya pada ibu hamil. “Anemia terjadi bukan hanya pada ibu hamil, anak-anak, tetapi juga menyasar pada semuanya. Kita tahu bahwa setelah anak-anak ada remaja, dan harus concern juga pada kesehatan remaja di Indonesia. Kita juga tahu kalau pekerja wanita juga rentan terkena anemia, bahkan produktivitasnya bisa menurun 20-30 persen jika terkena anemia yang akan berpengaruh pada kehamilan yang akan menyebabkan impact yang luar biasa,” katanya.

Saat ini pemerintah telah menetapkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024 melalui Permenkes 13/2022 yang menyebutkan anemia merupakan permasalahan berat dan perlu ditangani. Selain itu, telah ditetapkan juga Kepmenkes HK.01.07/Menkes/2015/2023 Tentang Petunjuk Teknis Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer dimana diatur dalam peraturan tersebut anemia masuk dalam paket pelayanan anak sekolah yang perlu disediakan.

Namun, apabila dilihat implementasinya, belum ada skrining rutin pemeriksaan Hemoglobin sebagai pertanda anemia bagi anak usia 0-4 tahun maupun 5-14 tahun. ”Payung hukum terkait anemia mulai dari Permenkes, Kepmenkes, bahkan terkait pembiayaan juga sudah ada. Tapi, lagi-lagi sebuah program tidak akan berjalan dengan mulus tanpa adanya evaluasi dan kolaborasi. Kebetulan kita ingin coba karena juga diskusi dengan pihak-pihak lainnya bahwa permasalahan anemia bukan hanya tugas dokter saja akan tetapi juga tugas bersama. Syukur-syukur kita nanti bisa membuat policy brief yang coba akan kita sampaikan. Oktober sebentar lagi, ada sebuah program yang siapa tau sebelum dimulainya pemerintahan yang baru kita bisa berikan asupan terkait dengan hal-hal apa yang bisa kita lakukan akan penanganan anemia tersebut,” ungkap Dr. Ulul.

Adapun metode skrining anemia yang tersedia saat ini dilakukan secara invasif, hal ini mungkin menjadi salah satu penyebab sulitnya dilakukan skrining dini dan berkala. Penanganan anemia saat ini bertitik tumpu pada pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri dan ibu hamil, yang ternyata belum cukup untuk menyelesaikan kasus anemia di Indonesia.

Perlu suatu inovasi alat skrining non infasif.  Masimo, suatu alat non-invasif digital merupakan alat skrining anemia dengan mengukur Hb dapat digunakan pada anak-anak dan dewasa.  Dengan Masimo, skrining dini memungkinkan untuk dilakukan, sehingga kasus individu dengan anemia dapat ditangani dengan tepat dan cepat.  Karena anemia banyak disebabkan oleh defisiensi zat besi, dibutuhkan  suatu tool yang dapat mengukur risiko defisiensi besi, sehingga pencegahan anemia defisiensi zat besi dapat dilakukan sedini mungkin.

Peran Dokter dan Perguruan Tinggi dalam pencegahan dan penanganan anemia defisiensi besi juga merupakan hal yang penting karena banyaknya kasus anemia yang terjadi di masyarakat, yang tentunya dalam jangka panjang akan berdampak pada pembangunan manusia Indonesia. Oleh karena itu, masukan kepada pemerintah perlu diberikan untuk dapat mengatasi permasalahan ini.

Bagikan Artikel Ini
Hotline