Peran Dokter Tionghoa Dibalik Kelahiran Ikatan Dokter Indonesia (Refleksi Tahun Baru Imlek)
Dr. dr. Muhammad Isman Jusuf, Sp.N
Departemen Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter Bidang Organisasi PB IDI
Organisasi profesi dokter Indonesia yang bernama Ikatan Dokter Indonesia ini terlahir dari fusi 2 organisasi profesi dokter yang telah eksis pada era tahun 1950 yaitu Perkumpulan Dokter Indonesia (PDI) dibawah pimpinan Dokter Darmasetiawan Notohadmojo dan Persatuan Thabib Indonesia (Perthabin) yang diketuai Dokter Abdul Rasyid. Atas mediasi dokter R. Soeharto, maka kedua organisasi profesi ini bertemu pada 30 Juli 1950 di kediaman dokter R. Soeharto dan bersepakat untuk membentuk sebuah organisai Dokter Warga Negara Indonesia (DWNI) yang beranggotakan para dokter pribumi saja serta merepresentasikan dunia dokter dan kedokteran Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri.
Akhirnya pada tanggal 22 sampai 25 September 1950 diadakan Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia (MDWNI) yang digelar di Deca Park (gedung pertemuan Kotapraja) Jakarta. Muktamar menyepakati pembentukan organisasi profesi dokter yang bernama Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kata “Ikatan” bagi nama depan perkumpulan ini merupakan usul yang dikemukakan oleh Dokter R. Soeharto pada muktamar yang kemudian diterima secara bulat. Dokter R. Soeharto sengaja memilih nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan Perkumpulan Dokter Indonesia (PDI) untuk menghilangkan kesan bahwa Pertabhin-lah yang dilebur ke dalam PDI. Dalam muktamar tersebut Dokter Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi Ketua Umum IDI pertama.
Sebulan setelah pelaksanaan muktamar, tepatnya pada 24 Oktober 1950, Dokter R. Soeharto atas nama sendiri dan atas nama pengurus lainnya yaitu dr. Sarwono Prawirohardjo, dr. Pirngadi, dr. Ouw Eng Liang, dr. Tan Eng Tie, Letkol dr. Azis Saleh, dan dr. Hadrianus Sinaga, menghadap notaris R. Kadiman untuk memperoleh dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter dengan nama Ikatan Dokter Indonesia. Ketujuh orang dokter ini yang tercatat dalam akte notaris sebagai pendiri Ikatan Dokter Indonesia. Dari tujuh orang dokter tersebut, ada dua orang dokter tionghoa yaitu dr. Tan Eng Tie dan dr. Puw Eng Liang. Siapakah sosok kedua dokter Tionghoa tersebut?
(Foto dokter Tan Eng Tie)
Dokter Tan Eng Tie lahir di Lampegan, Cianjur, Jawa Barat, pada 19 Juli 1907. Beliau menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Leiden dan lulus sebagai dokter pada 1932. Setelah kembali ke Indonesia, beliau bekerja di R.S Jang Seng Ie Batavia dan di CBZ (Sekarang RSCM)) serta berpraktek di Bogor. Beliau dikenal sebagai seorang dokter spesialis kulit dengan nama dr. Arief Soekardi, Sp.KK yang menulis buku Kapita Selekta Dermato Venerologi terbitan EGC Jakarta. Bersama sejumlah dokter ahli kulit dan kelamin Indonesia lainnya, Dokter Tan Eng Tie ikut memprakarsai berdirnya organisasi dokter spesialis kulit dan kelamin dengan nama Perhimpunan Ahli Deramato Venereologi Indonesia (PADVI).
Disamping aktif dalam dunia kedokteran, Dokter Tan Eng Tie juga berkiprah dalam organisasi pergerakan nasional. Beliau merupakan salah satu tokoh penting Tionghoa dalam Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa). Setelah kemerdekaan Indonesia, ia terpilih sebagai Presiden PDTI (1953) dan menjadi salah seorang Pengurus Pusat Baperki (1954-1965). Oleh Baperki, beliau dicalonkan menjadi anggota parlemen untuk daerah pemilihan Djakarta Raya (Kontituante), Djawa Tengah (DPR) dan Sumatera Selatan (Konstituante).
Di masa kepengurusan dokter Tan Eng Tie, Baperki mendirikan perguruan tinggi bernama Universitas Baperki dengan Rektor pertamanya Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjabat menteri dalam sejumlah kabinet pada masa demokrasi parlementer. Pada tahun 1959, Universitas Baperki membuka fakultas Kedokteran Gigi disusul pada tahun 1962 dibuka Fakultas Kedokteran. Pada 1962, nama Universitas Baperki diubah menjadi Universitas Res Publica yang biasa disingkat sebagai URECA, dengan cabang- cabang di berbagai kota di Jawa dan Sumatra.
(Foto dokterOuw Eng Liang)
Dokter Ouw Eng Liang adalah dokter pertama yang meraih gelar doktor dari Geeneskundige Hooge School (GHS) pada 31 Mei 1940. Beliau mengepalai Departemen Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, bidang yang ditelitinya untuk disertasinya. Saat itu baru ada dua Institusi Pendidikan Dokter Gigi di Indonesia. Hal inilah yang mendorong Dokter Ouw Eng Liang dan sejumlah dokter dari bagian Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di tahun 1959 untuk mengajukan pendirian Fakultas Kedokteran Gigi di Universitas Indonesia. Setalah melewati proses perjuangan, akhirnya pada 21 Desember 1960 diterbitkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI No. 108049 mengenai pendirian Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia sebagai Institusi Pendidikan Dokter Gigi keempat di Indonesia dengan Prof. Dr. Ouw Eng Liang sebagai Dekan pertama. Selain aktif dalam bidang kedokteran, Dokter Ouw Eng Liang juga sempat berkiprah sebagai anggota Badan Perwakilan Rakyat Kota Jakarta yang diketuai oleh Walikota Soewirjo.
Demikianlah sosok 2 orang dokter Tionghoa yang tercatat sebagai pendiri IDI. Dalam akta notaris pendirian disebutkan dr. Tan Eng Tie beralamat di Jl, Baljuw 16 dan dr. Ouw Eng Liang beralamat di Jl.Krekot 36. Sahnya IDI sebagai badan hukum perkumpulan dikukuhkan dengan dimuatnya Anggaran Dasar pada Berita Negara RI nomor 9 tahun 1951 sebagai tambahan Berita Negara tanggal 13 Februari 1951 nomor 13. Sebelumnya Menteri Kehakiman RI telah mensahkan Anggaran Dasar IDI lewat surat penetapannya Nomor J.A.8/9/20 tertanggal 18 Januari 1951. Dalam SK menteri tersebut dinyatakan bahwa wakil IDI yang ditunjuk untuk mengurus akte pendirian tersebut adalah adanya surat permohonan tertanggal 3 November 1950 dari Soetrono Prawiroatmodjo sebagai wakil notaris.
Pada awalnya IDI belum mempunyai sekretariat sendiri, namun dalam perkembangannya, IDI kemudian mampu membeli sendiri kantor sekretariat di Jl. Sam Ratulangi yang hingga kini menjadi “Rumah IDI”. Pada waktu itu Dokter Tan Eng Tie sebagai bendahara IDI ditugaskan untuk membeli gedung tersebut dari orang Belanda seharga Rp 300.000. Selain dari iuran, sumber pendanaan IDI antara lain dilakukan dengan menjual obligasi seharga Rp 1.000 hingga Rp 5.000 yang diedarkan terutama di kalangan dokter. Sejak itulah, pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melayarkan bahtera organisasinya ditempat tersebut. Kita harus berterima kasih kepada para dokter pendiri IDI yang telah mengajarkan keteladananan tentang kemajemukan dan prinsip bhineka tunggal ika dalam pendirian IDI. Sejak awal IDI berdiri telah ditunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam partisipasi kepengurusan, apakah dokter tersebut pribumi atau non pribumi, berpendidikan dokter umum atau dokter spesialis, bekerja sebagai dokter pemerintah atau swasta, dan berlatar belakang sipil atau militer. IDI lahir sebagai rumah besar bagi dokter Indonesia untuk rakyat Indonesia. Semoga spirit ini senantisa hidup dan terpatri dalam hati sanubari para insan dokter Indonesia. Selamat tahun baru imlek 2575 Kongzili.
(Foto Sekretariat Pengurus Besar IDI)