Banner

Poli Minim RUU Kesehatan

IDI - Dunia kesehatan lagi riuh. Tiba-tiba saja bersirkulasi draf RUU Kesehatan yang menelisik banyak issu kesehatan, mulai dari hak dan kewajiban pasien hingga registrasi tenaga kesehatan. Jumlah pasalnya tidak main-main; 455 pasal. Sedemikian luas cakupannya hingga RUU ini mendapat julukan lain : RUU Ombinus atau Sapu Jagad.

Sesaat setelah muncul, RUU ini langsung mendapat respons negatif. Berbagai organisasi profesi (OP) kesehatan, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dengan tegas menolak RUU ini. Banyak alasannya; salah satunya, mereka tidak dilibatkan dalam pembuatan RUU ini. Padahal mereka adalah stakeholder utama dan merupakan front-liner pelayanan kesehatan

Poli-Minim

Bila hanya menelisik pasal demi pasal, beberapa konten RUU ini bernuansa positif dan bermanfaat. Misalnya, Surat Tanda Registrasi bagi profesi kesehatan dapat berlaku seumur hidup; artinya, tidak perlu ada renewal. Ini bagus dan tepat. Ada juga peraturan tentang kemudahan prosedur bagi dokter diaspora Indonesia yang ingin kembali ke tanah air. Ini menggunting prosedur berbelit yang banyak dialami dokter diaspora saat ini.

Namun ketika mereview elemen substansial RUU, mulai terlihat sejumlah issu krusial yang menjadi alasan berbagai OP menolak RUU ini. Banyak ‘minim’ (poli-minim) dibalik RUU ini.

Pertama, minim transparansi (lack of transparancy). RUU ini dibuat diam-diam; entah apa motifnya. Bahkan hingga kini tidak ada informasi jelas siapa pembuat RUU ini. DPR menunjuk Kemenkes pembuatnya sementara Kemenkes menyebut RUU ini produk DPR. Terkesan kucing-kucingan. Di draf RUU sendiri tertulis catatan ‘confidential’; artinya rahasia.

Ini aneh; masak RUU sifatnya rahasia. Mestinya RUU justru disebar luas dari awal agar masyarakat tahu dan bisa memberi masukan. Nama penyusun naskah akedemik RUU ini pun tidak ada. Ibarat tesis atau disertasi, tidak diketahui siapa pembuatnya. Ironisnya, beredar kabar bahwa RUU ini masuk Prolegnas 2022 dan akan segera disahkan. Artinya, masyarakat berhadapan dengan sebuah RUU ‘misterius’ yang ujug-ujug akan segera disahkan. Ini jelas bertentangan dengan salah satu azas krusial pembentukan UU, yaitu keterbukaan. Semua produk legislasi, apalagi yang mempengaruhi hayat hidup orang banyak, harus dibuat secara transparan. Bukan dengan silence action.

Kedua, minim representasi (lack of representation). OP adalah representasi formal tenaga kesehatan di Indonesia. Mereka adalah stakeholder penting sistem pelayanan kesehatan. Tanpa mereka, pelayanan kesehatan tidak berjalan efektif atau bisa kolaps. Mestinya OP dilibatkan sejak awal dalam pembuatan RUU ini. Faktanya, tidak satupun OP formal ini dilibatkan. Ini melahirkan spekulasi bahwa peran OP mau dihilangkan atau dikerdilkan dalam RUU ini. Ada upaya marginalisasi profesi. Ini tentu bukan langkah tepat karena berpotensi menimbulkan konflik antara pemerintah dengan OP. Prakondisi konflik tidak bagus, apalagi menghadapi tahun politik pergantian pimpinan nasional.

Pelibatan OP formal sangat krusial, agar suara tenaga profesional terdengar. Jangan sampai RUU ini menggunakan model cherry-picking; mengundang orang-orang tertentu yang seide dengan konten RUU dan mencatatnya sebagai perwakilan suara OP.

Ketiga, minim kejelasan (lack of clarity). Urgensi sebuah UU Omnibus adalah mengganti dan mensinergiskan berbagai UU terkait yang ada. 12 UU bidang kesehatan akan dihapus dan digantikan oleh UU Omnibus kesehatan ini. Namun sebelum memutuskan pembuatan UU baru, mestinya ada penjelasan rasional dan transparan terkait alasan penggantian UU lama. Apakah UU lama sudah tidak relevan atau mengandung konflik satu dengan lainnya? Mesti ada penjelasan dan telaah ilmiah terkait aspek filosofis, yuridis dan sosial penggantian UU ini. Sehingga ada alasan substansial dan relevan penggantian UU.

Sayangnya, aspek clarity ini tidak terpenuhi. Hingga kini, tidak pernah terdengar adanya diskusi atau telaah ilmiah RUU ini, apalagi yang melibatkan perguruan tinggi. Kesannya, sangat lack of clarity.

Keempat, minim urgensi (lack of urgency). Informasi yang beredar, RUU akan segera dibahas dan ketok palu. Seolah-olah ada kegentingan dan urgency; tidak bisa ditunda. Kesannya, kalau tidak diundangkan tahun ini, domain kesehatan akan guncang. Faktanya, tidak ada urgensi dan kegentingan sama sekali pada produk legislasi ini. UU yang mau diganti saja masih banyak yang lawas, seperti UU Kebidanan yang dibuat tahun 2019. Juga tidak ada urgensi penggabungan UU karena tidak ada konflik signifikan antar UU.

Produk legislasi yang seharusnya dibuat saat ini adalah terkait issu kekinian atau pandemi, seperti UU Telemedicine, UU Meta-Data Penduduk atau UU Pembuatan Obat dan Vaksin Wabah. Selain itu, negeri ini masih terus berjibaku dengan persoalan kesehatan mendasar; angka AKI/AKB yang masih terpuruk, target pengurangan stunting 2,5% pertahun yang belum tercapai, issu BPJS yang masih terus menggelantung. Ini semua issu yang perlu penyelesaian segera. Bukan justru ujug-ujug membuat legislasi yang berpotensi menimbulkan konflik.

Kelima, minim kualitas (lack of scholarship). UU adalah produk legislasi krusial yang mempengaruhi hayat hidup orang banyak. Pembuatannya harus kredibel, akurat dan ilmiah. Tidak boleh asal-asalan.

Sayangnya, draf RUU ini menimbulkan pertanyaan terkait kualitas isinya; banyak locus minoris atau celah kelemahan. Terminologi organisasi profesi saja ambivalen; terdapat dua terminologi berbeda. Antara pasal satu dengan pasal lain ada yang tabrakan. Pasal 268 menyebutkan pasien berhak menolak usulan penatalaksanaan dari tenaga kesehatan sementara pasal 269 menyatakan pasien wajib mematuhi nasihat tenaga kesehatan. Proporsi issu juga tidak proporsional. Ada topik yang pembahasannya sampai puluhan pasal, sementara ada topik krusial yang pembahasannya hanya beberapa pasal saja. Naskah akademiknya pun tidak adekuat. Banyak bagian dalam naskah akademik yang tidak ada referensinya. Tidak jelas pendapat dari mana. Beberapa bagian lagi menggunakan referensi yang sudah outdated.

Artinya naskah akademik ini fragile. Bagaimana bisa naskah akademik sebuah UU rapuh? Ini sekaligus menimbulkan pertanyaan : siapa pembuat naskah ini? Apakah mereka ahli kesehatan masyarakat dan berpengalaman menggabungkan sejumlah UU? Jangan-jangan tim pembuat tidak memiliki latar belakang adekuat terkait public health policy.

Keenam, minim pembagian peran (lack of sharing roles). Dalam RUU terlihat jelas gesture monopoli peran. Menteri Kesehatan menjadi super-body; penentu dari semua persoalan kesehatan dari hulu ke hilir. Menteri akan menjadi atasan KKI, BPJS dan berbagai institusi lain. Padahal sebelumnya strukturnya tidak demikian. Menteri menjadi penentu utama standar-standar pendidikan kedokteran, pelayanan kedokteran dan standar profesi dokter. Padahal sebelumnya peran ini dibagi secara proporsional dengan berbagai stakeholder termasuk OP, rumah sakit dan institusi pendidikan. Bahkan pendidikan berkelanjutan dokterpun diambil alih Menteri. Aneh tapi nyata.

Monopoli peran ini menggiring sistem kesehatan Indonesia mundur kebelakang menjadi model sentralisasi. Padahal dunia moderen memutlakkan spirit kolaborasi dan inklusifme; bukan monopoli dan eksklusifme.

Potensi Inkonstitusional?

Mesti terdapat beberapa bagian RUU ini bernilai positif, secara substansial RUU ini amat bermasalah dan rapuh. Ia tidak memenuhi kaidah normatif pembuatan RUU. Ia melanggar azas krusial pembuatan UU termasuk azas keterbukaan dan partisipasi representatif. Ia mengandung banyak locus minoris dan konflik kepentingan, termasuk monopoli peran Menteri. Saat yang sama, RUU ini ingin memandulkan peran OP yang selama ini telah menjadi mitra strategis pemerintah dalam pembangunan dunia kesehatan.

Mestinya RUU ini dipending dulu. Didesain ulang secara adekuat dan kredibel dengan melibatkan tim profesional dibidang Public Health Policy serta para stakeholder. Kemudian dikaji secara luas dengan melibatkan institusi ilmiah seperti perguruan tinggi. Tidak perlu buru-buru dikebut; tidak ada aspek urgensinya. Bila tidak, RUU ini tidak akan mencapai urgensinya sebagai UU Omnibus yang bisa mensinergiskan dan menyelaraskan beragam UU yang ada. Bahkan yang akan muncul justru penolakan sengit dari berbagai pihak dan ujung-ujungnya akan menggiring nasib RUU ini sama dengan RUU Cipta Kerja : dianggap inkonstitusional dan cacat administrasi. (*)

  • Iqbal Mochtar. Pengurus PB IDI dan PP IAKMI. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah.
Bagikan Artikel Ini
Hotline