Banner

Rekam Jejak 3 Dokter Sebagai Menteri di Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan

(Refleksi Hari Pendidikan Nasional)

Dr.dr. Muhammad Isman Jusuf, Sp.N

(Departemen Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter Bidang Organisasi PB IDI)

 

          Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 2 Mei, Bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional.  Ditetapkannya tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional tidak lepas dari sosok Ki Hadjar Dewantara sebagai salah seorang pelopor pendidikan di Indonesia. Beliau mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa.  Setelah Indonesia merdeka, Ki Hadjar Dewantara dipercayakan oleh Presiden Sukarno untuk menjadi Menteri Pendidikan pertama. Untuk menghargai jasa dan pengabdiannnya bagi bangsa dan negara maka Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959, Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan hari kelahirannya, 2 Mei menjadi Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

          Sejak dibentuk pada tahun 1945, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia  pernah dipimpin oleh 29 orang menteri, dimana 3 orang diantaranya berlatar belakang sebagai seorang dokter yaitu dr.Abu Hanifah, dr. Bahder Djohan dan dr. Syarif Thayeb. Ketiganya telah berkiprah dan  meletakkan fondasi yang kuat dalam membangun sistem pendidikan dan kebudayaan Negara Indonesia yang dampaknya telah dirasakan oleh generasi bangsa hingga saat ini. Dalam rangka memperingati Hardiknas, kita buka kembali rekam jejak yang ditorehkan para dokter tersebut di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang saat ini telah bernama Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek RI).

 

  1. Prof. Dr. dr. Abu Hanifah

    https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/6/69/Abu_hanifah_ris.jpg/100px-Abu_hanifah_ris.jpg

    (Foto dr. Abu Hanifah)

              Tokoh kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat 6 Januari 1906  ini menempuh pendidikan kedokteran di STOVIA dan lulus sebagai Indische Arts (Dokter Hindia) pada 1932. Kemudian melanjutkan ke Geneeskundige Hoge School (GHS) dan tahun 1940 resmi menyandang gelar Arts (dokter) yang setara dengan dokter Eropa. Beliau mendalami spesialisasi Penyakit Dalam. Pada tahun 1955 beliau diangkat menjadi Guru Besar Filsafat pada IKIP Bandung dan  tahun 1962 menerima gelar doktor Honoris Causa dari Akademi Belle Arte di Brasil.

              Dokter Abu Hanifah diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada masa kabinet Republik Iindonesia Serikat (RIS) periode 20 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950. Beliau ditugaskan untuk mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan nasional sesegera mungkin. Beliau menegaskan bahwa sebuah negara baru mesti memiliki fondasi pendidikan yang kuat untuk generasi mudanya. Semakin sehat dan baik dasar pendidikannya, semakin cerah pula masa depan negara baru ini.. Salah satu langkah perdananya adalah menggabungkan fakultas-fakultas yang tersebar di Jakarta, Bogor, dan Bandung menjadi Universitas Indonesia. sejak awal menjabat, dokter Abu Hanifah membenahi Balai Pustaka dengan meningkatkan kualitas penerbitan, melakukan pembaruan sistem dan kepegawaian, serta memastikan kualitas isi bacaan remaja. Selain membuat Perjanjian Kerjasama Budaya dengan Belanda, Dokter Abu Hanifah membuka hubungan kerja sama di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan dengan beberapa negara di Asia. Pelatihan-pelatihan juga digelar untuk meningkatkan kapasitas para guru sekolah.

  2. Prof. Dr. dr. Bahder Djohan

    RIWAYAT HIDUP PROF. DR. BAHDER DJOHAN

    (Foto dr. Bahder Djohan)

          Tokoh kelahiran Lubuk Begalung, Padang,  30 Juli 1902 ini menempuh pendidikan kedokteran di STOVIA dan  meraih Gelar Dokter Pribumi (Indische Art) tahun 1927. Pada tahun 1953, dr. Bahder Djohan diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Indonesia dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam. Beliau dianugerahi penghargaan Doctor honoris causa dalam Ilmu Kedokteran oleh Universitas Indonesia pada 27 Mei 1972.

          Dokter Bahder Djohan ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) pada Kabinet Natsir yang dibentuk pada tanggal 6 September 1950. Beliau melihat program konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan masih relevan untuk dijadikan program kementerian PP&K dengan memperbaiki susunan organisasi dan memanfaatkan tokoh-tokoh pendidikan dan kebudayaan yang ahli di bidang masing-masing. Jabatannya sebagai Menteri PP&K hanya berlangsung selama enam bulan karena kabinet Natsir mendapat mosi tidak percaya. Akibatnya pada tanggal 21 Maret 1951 Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno.

          Setahun kemudian dr. Bahder Djohan terpilih kembali menjadi Menteri PP&K dalam Kabinet Wilopo. Kabinet ini dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 April 1952. Pada masa ini bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa  pengantar di sekolah dan semua buku yang dijadikan sebagai buku- teks atau acuan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Beliau juga menerapkan  wajib belajar 6 tahun dan merintis pendirian universitas-universitas negeri di berbagai daerah. Pada tanggal 2 Juni 1953 muncul mosi tidak percaya kepada Kabinet Wilopo. Perdana Menteri Wilopo akhirnya mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Selepas menjabat Menteri, dr. Bahder Djohan diangkat menjadi Presiden (Rektor)  Universitas Indonesia ketiga (1954-1958) dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun (1969-1981).

  1. Letjen TNI (purn) Prof.Dr.dr. Syarif Thayeb

    Harlona: Daftar Nama-nama Menteri Pendidikan di Indonesia

    (Foto dr. Syarif Thayeb)

          Tokoh kelahiran Peureulak, Aceh pada 7 Juli 1920 ini menempuh pendidikan kedokteran di Geneeskundige Hogeschool (GHS) dan Ika Dai Gaku di Jakarta. Selanjutnya melanjutkan pendidikan Harvard Medical School Amerika Serikat (1955-1957) dan Pediatrics School of Medicine Temple University di California tahun 1958. Beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC.) bidang Pendidikan dari Mindanao University tahun 1968  dan Doktor Honoris Causa bidang Hukum dari The Philippine Women's University, Filipina tahun 1975. 

          Dokter Syarif Thayeb diangkat menjadi Menteri Pendidikan Dan kebudayaan Kabinet Pembangunan II periode 1973-1978. Beliau dilantik pada 22 Januari 1974 menggantikan Mendikbud sebelumnya Prof.Dr.Ir.Sumantri Brodjonegoro yang wafat pada Desember 1978 dan baru menjabat selama 9 bulan. Di masa kepemimpinannya sebagai Mendikbud, dr. Syarif Thayeb melakukan sejumlah kebijakan strategis diantaranya meningkatkan daya tampung anak usia sekolah di semua jenis dan tingkatan dengan membangun sekolah Inpres (instruksi presiden) yang dibiayai menggunakan anggaran negara. Tercatat beliau telah membangun 16.000 gedung sekolah dengan 96.000 ruang kelas di berbagai kawasan terpencil. Beliau juga memberikan keringanan biaya pendidikan bahkan menghapuskan SPP untuk Sekolah Dasar Kelas I, II dan III termasuk menyediakan beasiswa kepada 7.757 peserta didik di berbagai jenjang pendidikan. Bagi anak-anak yang putus sekolah diperkenalkan  Pusat Pelatihan Pendidikan Masyarakat yang bertujuan memberikan berbagai keterampilan yang dibutuhkan  untuk terjun ke masyarakat. Beliau berupaya meningkatkan  mutu pendidikan dengan mengadakan penataran bagi guru dan dosen, penyediaan fasilitas pendidikan, serta mendirikan sejumlah sekolah kejuruan.

          Sebelumnya dr. Syarif Thayeb pernah menjabat Presiden (sekarang rektor) Universitas Indonesia tahun 1962-1964 serta Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP)  pada kabinet Dwikora  tahun 1964-1966. Semasa dr. Sjarif Thajeb menjabat sebagai Menteri PTIP, beliau menginisiasi pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan memberi ruang bagi kebebasan mimbar akademik. Menurutnya kebebasan mimbar akademis meliputi kebebasan berpendapat serta penyampaian ilmu pengetahuan dan teknologi secara lisan maupun tertulis dalam berbagai forum yang biasa berlaku di perguruan tinggi dan bukan kebebasan melakukan tindakan tanpa batas. Beliau memiliki perhatian terhadap pendidikan pasca sarjana (Post Graduate). Menurutnya yang diinginkan oleh Negara Indonesia adalah manusia pancasilais dan manusia pembangunan sehingga pendidikan sekolah maupun di luar sekolah harus diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. 

          Dari rekam jejak di atas terlihat bahwa walaupun berlatarbelakang medis, ketiga dokter tersebut mampu melaksanakan tugas sebagai menteri di luar sektor kesehatan termasuk amanah sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini menunjukkan bahwa para dokter mampu menjalankan trias peran dokter Indonesia sebagaimana yang telah dicontohkan dr.Wahidin Sudirohusodo, dr.Sutomo dan para dokter perintis terdahulu bahwa seorang dokter tidak hanya menjadi agent of treatment semata, tetapi juga mampu berkiprah sebagai agent of change sekaligus agent of development bagi bangsa dan negara.



 

Bagikan Artikel Ini
Hotline