Sosok Dokter Dibalik Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949
Dr. dr. Muhammad Isman Jusuf, Sp.N
Departemen Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter Bidang Organisasi PB IDI
Setiap tanggal 1 Maret, rakyat Indonesia memperingati suatu peristiwa bersejarah yaitu serangan umum 1 Maret yang terjadi pada tahun 1949. Peristiwa Serangan Umum 1 Maret ini juga telah ditetapkan sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara oleh Presiden Ir. H. Joko Widodo pada 24 Februari 2022. Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 2 Tahun 2022. Namun banyak yang tidak mengetahui bahwa salah seorang konseptor serangan umum 1 maret adalah seorang dokter yang bernama dr. Wiliater Hutagalung. Departemen Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter Bidang organisasi Pengurus Besat Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencoba menguraikan keterlibatan dokter dalam peristiwa yang sangat monumental ini.
Pada tahun 1948, dr.Wiliater Hutagalung yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel menghadap Panglima Besar Sudirman untuk melaporkan resolusi Dewan Keamanan PBB, penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan adanya propaganda Belanda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Mendengar informasi tersebut, Panglima Besar Sudirman menginstruksikan kepada dr.Wiliater Hutagalung untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk memutar balikkan propaganda Belanda tersebut. Dokter Wiliater Hutagalung mengusulkan kepada Panglima besar Sudirman agar Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan suatu serangan untuk meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, memiliki pemerintahan dan memiliki TNI. Serangan tersebut harus tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dan wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan kepada dr. Wiliater Hutagalung agar mengoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kolonel Bambang Sugeng.
Dokter Wiliater Hutagalung memiliki kedekatan dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman oleh karena jabatannya sebagai perwira teritorial yang menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II dan Panglima Divisi III. Selain itu, sebagai seorang dokter, dr. Wiliater Hutagalung juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit paru-paru.
Pada 18 Februari 1949 dilaksanakan rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Dalam rapat tersebut, dr. Wiliater Hutagalung menyampaikan gagasannya yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman untuk dibahas bersama yaitu Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III, Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer II, Mengadakan serangan terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III, Berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar dan Serangan tersebut harus diketahui oleh dunia.
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, konsep yang diajukan oleh dr. Wiliater Hutagalung disetujui oleh peserta rapat dan disepakai serangan spektakuler tersebut dilkukan di Kota Yogyakarta dengan pertimbangan: 1) Yogyakarta adalah Ibu kota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda, 2) Banyaknya wartawan asing, anggota delegasi UNCI, serta pengamat militer dari PBB di Hotel Merdeka Yogyakarta, 3) Kota Yogyakarta langsung di bawah wilayah Divisi III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima dan semua pasukan telah memahami dan menguasai daerah operasi.
Akhirnya pada 1 Maret 1949 serangan umum dimulai. Kejadian tersebut berlangsung pada pukul 6 pagi setelah sirine penanda berakhirnya jam malam berkumandang. Dari pagi hingga siang, pasukan TNI melakukan serangan dan berhasil memasuki Kota Yogyakarta. Meskipun Serangan Umum tersebut hanya berhasil menguasai Yogyakarta selama enam jam, namun kejadian ini telah menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI masih aktif. Kesuksesan serangan tersebut berdampak signifikan bagi perjuangan Indonesia. Dewan Keamanan PBB kemudian menggunakan keberhasilan serangan ini untuk mendorong Belanda agar kembali berunding dengan Indonesia. Kesuksesan serangan ini, tidak terlepas dari peran seorang dokter yang bernama Wiliater Hutagalung Siapakah sebenarnya sosok Letkol dr. Wiliater Hutagalung?
(Foto Letkol dr. Wiliater Hutagalung)
Wiliater Hutagalung lahir di Tarutung, Sumatra Utara, pada 20 Maret 1910. Menamatkan pendidikan dokter di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya pada 2 Maret 1937. Setelah lulus dokter, beliau ditempatkan di dinas pemberantasan lepra di Semarang, kemudian dipindahkan kerumah sakit Zending Jombang tahun 1937 sampai 1940. Selanjutnya ditugaskan ke Sanatorium Batu, Malang untuk mengikuti pendidikan khusus penyakit paru- paru. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dr. Wiliater Hutagalung ikut membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR)/Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Selama masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, beliau aktif di kemiliteran dan memegang berbagai jabatan dengan pangkat terakhir Letnan kolonel. Beliau ikut berperan dalam pertempuran melawan tentara Inggris di Surabaya pada bulan Oktober-November 1945 serta berkontribusi dalam perang melawan agresi militer Belanda tahun 1947-1949. Setelah perang mempertahankan kemerdekaan usai, beliau mengundurkan diri dari dinas militer dan berpraktek dokter di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Selain aktif sebagai seorang dokter yang melayani pasien, dr.Wiliater Hutagalung pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Kotapraja Jakarta Raya (1954-1956). Pada 1954 pernah dipercaya menjadi anggota Dewan Komisaris Garuda Indonesia Airways NV sebagai wakil Pemerintah Indonesia, ikut mendirikan Koperasi Simpan Pinjam Gotong Royong (KOSGORO) dan ikut membentuk Dewan Nasional Angkatan ’45. Sebagai bentuk penghargaan pemerintah atas jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara, dr. Wiliater Hutagalung memperoleh anugerah Bintang Gerilya yang diserahkan pada tahun 1995. Beliau wafat di Jakarta pada 29 April 2002, dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta. Untuk mengenang peristiwa serangan umum 1 Maret 1949, maka pemerintah telah membangun sebuah Monumen peringatan di Yoyakarta yang diberi nama Monumen Jogja Kembali (Monjali).
Menurut Ketua Umum PB IDI, Dr. dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT, kisah heroik yang ditorehkan oleh dr. Wiliater Hutagalung membuktikan bahwa dokter Indonesia selalu hadir untuk rakyat dan negara Indonesia. Dalam setiap periode sejarah bangsa sejak 1908, 1928, 1945, masa orde lama, masa orde baru dan era reformasi, pasti ada kontribusi perjuangan dokter di dalamnya. Kiprah dr. Wiliater Hutagalung juga semakin mengokohkan peran dokter Indonesia yang tidak hanya sekedar sebagai agent of treatment semata tetapi juga ikut berperan sebagai agent of change, agent of development dan agent of defense. Semoga sepenggal kisah dr. Wiliater Hutagalung dalam peristiwa serangan umum 1 Maret ini dapat menjadi spirit, inspirasi dan motivasi bagi para dokter Indonesia untuk terus mengabdi kepada bangsa dan negara tercinta. Selamat Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
(Refleksi Peringatan Hari Penegakan Kedaulatan Negara)