Perlukah Gerakan Back to Basics dalam Profesi Obstetri dan Ginekologi di Indonesia?
Ditulis oleh: Prof. dr. Herman Susanto, Sp.O.G, Subsp.Onk
Profesi obstetri dan ginekologi di Indonesia perlu ditata kembali serta disempurnakan dalam berbagai aspek, khususnya pendidikan. Sejak beberapa waktu ke belakang saya menengarai adanya skenario sistematis untuk menggiring opini masyarakat ke arah carut marutnya dunia kesehatan dan terutama kedokteran di negara kita. Tanpa ada keluhan dari para peserta didik, tiba tiba muncul isu yang masif tentang buruknya sistem pendidikan obgin. Dengan hanya berbekal informasi yang sumir, 'katanya' Menteri Kesehatan, yang notabene tidak pernah mengenyam pendidikan kedokteran berani mengatakan telah terjadi tindakan-tindakan perundungan (bullying) dalam pendidikan spesialis obstetri dan ginekologi.
Kemudian muncul berita banyaknya peserta PPDS yang mengalami depresi bahkan membuat ancaman untuk bunuh diri, tanpa ada denominator dan pembandingnya di dalam laporan itu. Berbagai reaksi timbul, entah itu murni atau rekayasa. Umumnya para dokter pendidik dan juga alumni PPDS mengemukakan bahwa isu itu terlalu dibesar-besarkan, kalau benar ada. Isu-terkait lain yang dilontarkan adalah tidak memadainya kuantitas dan kualitas dokter dan spesialis di Indonesia sehingga perlu didirikan fakultas-fakultas kedokteran yang baru dan mengimpor bahkan melakukan naturalisasi dokter (spesialis) asing.
Menanggapi gagasan mengenai naturalisasi dokter asing ke Indonesia, PB IDI meragukan manfaatnya terhadap upaya untuk mengatasi permasalahan kesehatan di Indonesia, bahkan menurut Ketua Umum PB IDI Dr. Mohammad Adib Khumaidi bukan tidak mungkin yang lebih menonjol adalah kaitannya dengan market bisnis kesehatan. Sebelumnya, menanggapi gagasan Prabowo Subianto dalam debat calon presiden yang lalu untuk mendirikan 300 fakultas kedokteran baru (sekarang tercatat 117 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia), Adib menolaknya. Dikhawatirkan dalam 5 tahun mendatang akan terjadi kelebihan jumlah dokter umum serta menimbulkan pengangguran intelektual profesional, karena yang sangat dibutuhkan masyarakat saat ini adalah dokter spesialis, bukan 140.000 dokter umum. Lulusan dokter umum di Indonesia sekarang adalah sekitar 12.000 orang per tahun.
Merujuk kepada standar WHO, rasio dokter yang ideal adalah 1:1.000 (satu orang dokter melayani 1000 orang penduduk), sehingga Indonesia masih kekurangan 160.265 dokter umum berdasarkan data Kemenkes per 5 Februari 2024. Jumlah dokter di Indonesia pada tahun 2022 adalah 176.000 orang atau setara 12,23% dari seluruh tenaga kesehatan, sedangkan pada tahun 2023 adalah sekitar 200.000 orang. Data bulan Juni 2023: jumlah dokter spesialis di Indonesia 30.347 orang, SpOG 6.050 orang, dengan mayoritas berdomisili di DKI Jakarta.
Menurut data terkini Bappenas jumlah dokter spesialis di Indonesia 49.670 orang. Rasio ideal adalah 0,28 per 1.000 penduduk, sehingga Indonesia masih kekurangan 29.179 dokter spesialis. Lebih lanjut, Adib mengutarakan agar hendaknya diteliti apa kebutuhan dalam masalah kesehatan di setiap daerah, sebab kemungkinan berbeda dengan daerah yang lain. Hal ini akan membuka peluang bagi dokter-dokter umum putera daerah untuk mengikuti program spesialisasi sesuai dengan kebutuhan spesifik daerahnya.
Selanjutnya, dikatakan bahwa masalah utama dalam pendidikan kedokteran di Indonesia sekarang adalah mahalnya biaya pendidikan. Tampaknya pendistribusian lulusan dokter yang adil dan tepat sasaran juga menjadi masalah lain yang harus diatasi. Tidak adanya pemahaman komprehensif terkait dengan pendidikan profesi dokter serta itikad buruk untuk menafikan serta mengambil alih peran organisasi profesi yang selama ini telah menjaga kualitas produk pendidikan profesi dokter (spesialis) telah mengakibatkan banyak logical fallacy di kalangan para penentu kebijakan terkait dengan pendidikan dokter dan praktik profesi dokter. Contohnya antara lain keinginan pemerintah untuk secepatnya menyediakan sumber daya manusia yang bisa mengoperasikan alat pasang ring jantung (cath lab) pada 514 RSUD kabupaten/kota, yakni dengan mendidik dokter-dokter umum selama 6 bulan.
Dengan pola pikir yang sama, tidak tertutup kemungkinan bagi Pemerintah c.q. Kementerian Kesehatan untuk mencetak para “ahli seksio sesarea” secara instan guna menurunkan angka kesakitan/kematian maternal, dengan pesertanya dokter umum atau bidan. Atau mendidik dokter-dokter umum agar dapat melakukan operasi onkologi ginekologi dalam waktu beberapa bulan saja, dengan tujuan angka kematian ibu karena kanker ginekologi dapat cepat berkurang.
Pemikiran yang gegabah namun tidak mustahil dapat terjadi di negeri ini. Pendidikan dokter dan dokter spesialis bertujuan menghasilkan manusia yang memiliki kompetensi berlandaskan pengetahuan kedokteran yang cukup (body of knowledge) serta memiliki landasan etika dan profesionalitas saat mengaplikasikan ilmunya. Untuk tercapainya hal itu disusunlah sebuah standar pendidikan dokter dan standar pendidikan dokter spesialis untuk setiap bidang ilmu.
Semua standar pendidikan yang mencakup standar kompetensi, standar profesi dan standar praktik profesi ini disusun secara mandiri (independen) oleh Kolegium Bidang Ilmu dan telah disahkan oleh Konsil Kedokteran. Standar pendidikan dan standar kompetensi tersebut telah mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh organisasi pendidikan dokter sedunia (World Federation for Medical Education/WFME).
Baca Juga: Profesi Obstetri dan Ginekologi di Indonesia: Back to Basics?
Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 1 Butir 13 Kolegium adalah badan otonom yang dibentuk oleh organisasi profesi (perhimpunan spesialis) untuk setiap cabang disiplin ilmu. Mengacu kepada UU No 20/2013 (UU Dik Dok) Kolegium terdiri atas para guru besar bidang ilmu ditambah dengan ketua program studi dan ketua departemen dari institusi pendidikan dokter spesialis yang terkait dan pakar pendidikan kedokteran, yang bertugas mengampu pendidikan bidang ilmu tersebut dan menjaga baku mutu pendidikan profesi dokter dan dokter spesialis. Selain menyusun standar pendidikan dan standar kompetensi, kolegium juga menyelenggarakan ujian kompetensi secara nasional, menerbitkan sertifikat kompetensi melalui ujian nasional tersebut.
Di samping itu, kolegium juga melakukan pemantauan atas penyelenggaraan pendidikan di institusi pendidikan kedokteran dan memfasilitasi proses akreditasi oleh Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes). Sangat disayangkan bahwa dalam RPP UU 17/2023 Pasal 732, 733 dan 734 posisi Kolegium didegradasikan menjadi sekadar petugas Menteri Kesehatan, padahal keberadaan Kolegium lebih dari 30 tahun di Indonesia telah berjalan dengan baik dalam menghasilkan ribuan dokter profesional dan kompeten yang telah bertugas di seluruh penjuru negeri ini. Menempatkan kolegium sebagai alat kelengkapan Konsil Kedokteran yang berada di bawah Kementerian Kesehatan tidak saja suatu hal yang tidak lazim secara universal. Lebih dari itu adalah tergerusnya peran kolegium dan profesi sehingga menjadi tidak independen.
Di dalam pendidikan spesialis seorang pendidik seharusnya memiliki pengalaman dengan variasi yang cukup serta tingkat keilmuannya setidaknya 2 tingkat lebih tinggi. Semua ketentuan tersebut selain mempunyai landasan UU 12/2012 dan PP No.4/2014 juga mengacu kepada peraturan dari World Medical Association (WMA). Tiga hal penting terkait pendidikan dokter spesialis adalah tercapainya kompetensi, terjaganya etika profesi dan terjaminnya keselamatan pasien (patient safety). Oleh karena itu kehadiran langsung para dokter subspesialis/konsultan saat para peserta didik menjalani fase magang menjadi mutlak, bukan sekadar secara daring atau dengan supervisi yang sifatnya berkala.
Selain itu, para pendidik klinis ini telah dibekali kemampuan untuk mendidik atau mentransfer ilmu oleh universitas pemilik program studi. Ikhtiar untuk meningkatkan kemampuan mengajar para dokter di pusat-pusat pendidikan sudah dilaksanakan sejak lama dan berkesinambungan dengan diwajibkannya para dosen mengikuti sejumlah pelatihan guna memenuhi persyaratan sertifikasi pendidik untuk dosen (SERDOS), seperti pelatihan Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) dan Applied Approach (AA).
Jalan pintas untuk secepatnya mencetak lebih banyak spesialis dengan model pendidikan hospital based yang digagas Menteri Kesehatan dengan UU 17/2023 dikhawatirkan akan berbahaya bagi pencapaian kompetensi, bagi terpeliharanya etika profesi dan bagi perlindungan atas keselamatan pasien. Tidak ada atau kurangnya dokter subspesialis di rumah sakit pengampu jelas akan menurunkan kualitas pencapaian kompetensi, baik dari sisi keilmuan maupun sisi keterampilan profesi.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan situasi di Royal College of Obstetricians and Gynaecologists yang dijadikan model acuan. Di sana para dokter dididik oleh pendidik berpengalaman puluhan tahun dan memiliki kualifikasi dokter subspesialis. Dengan model hospital based maka yang akan menjadi korban adalah masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Situasi ini diperparah oleh posisi lembaga kontrol, yakni Konsil dan Kolegium, yang telah terdegradasi menjadi petugas menteri kesehatan.
Untuk mengatasi kesulitan dalam usaha menyediakan sistem pendidikan kedokteran yang baik kalangan akademisi meluncurkan gagasan Academic Health System seperti yang sedang digarap di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. FK UGM pada awal tahun 2000an membuat konsep Academic Health Center, Academic Health Science System, Academic Health Science Partnership yang kemudian berkembang menjadi Academic Health System (AHS). Konsep ini mengintegrasikan pendidikan kedokteran bergelar dengan satu atau lebih program pendidikan profesional kesehatan lainnya yang memiliki satu atau lebih rumah sakit pendidikan atau berafiliasi dengan rumah sakit pendidikan, sistem kesehatan dan organisasi pelayanan kesehatan lainnya.
Pengembangan model AHS diharapkan akan meningkatkan potensi yang ada di fakultas kedokteran, kapasitas rumah sakit jejaring, pemanfaatan bersama sarana pelayanan kesehatan, dan saling mendukung fokus unggulan untuk masing-masing rumah sakit, merangsang kerja sama antar-profesi untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui sistem rujukan serta mengembangkan pendidikan, penelitian dan pelayanan kesehatan secara terpadu dalam bidang pendidikan dokter dan/atau dokter gigi, pendidikan berkelanjutan dan pendidikan kesehatan lainnya secara multiprofesi.
Sementara itu, Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyeru kepada para pihak di bidang kesehatan supaya mendukung Academic Health System agar dikotomi penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis dan subspesialis dapat diintegrasikan dalam suatu sistem yang lebih komprehensif, yang bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di suatu wilayah.
Selanjutnya, Dewan tersebut memberikan rekomendasi agar penyelenggaraan pendidikan kedokteran tetap dalam bentuk university-based dan melibatkan kolegium dalam penyelenggaraan pendidikan dokter dan spesialis, sebagai penentu standar agar menghasilkan lulusan dengan mutu yang sama dan fit to practice di seluruh penjuru Indonesia, sedangkan fakultas kedokteran dianggap memiliki peran penting dalam menjamin mutu, meningkatkan kemampuan akademis klinis profesional staf pengajar, serta mengembangkan kurikulum program studi.
Masukan lain yang diberikan adalah masalah pentingnya distribusi dokter. Juga alokasi pembiayaan para peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang dianggap tidak dapat bergantung hanya pada beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan Kementerian Kesehatan. Perlu dipikirkan penerapan strategi distribusi permanen seperti Wajib Kerja setelah lulus Pendidikan, atau distribusi sementara seperti ada dalam skema PTT, internship dan Wajib Kerja Dokter Spesialis.
Sebagaimana telah disinggung di atas, sejumlah peraturan baru yang berkenaan dengan profesi dokter umum dan dokter spesialis telah menimbulkan polemik dan kontroversi. Contohnya adalah Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Pelaksanaan UU 17/2023 Pasal 733 yang menyatakan bahwa kolegium bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan (Menkes). Pasal 734 butir 1 berbunyi: kolegium diangkat dan diberhentikan oleh menkes, dan selanjutnya keanggotaan kolegium dipilih melalui seleksi oleh panitia seleksi yang ditunjuk menkes.
Tak ubahnya seperti panitia seleksi (pansel) yang dibentuk pemerintah untuk memilih anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, independensi dalam menetapkan keanggotaan kolegium oleh kelompok profesi sangat penting dalam menjaga profesionalitas dan kompetensi dokter demi keselamatan dan kepentingan masyarakat. Hanya kelompok profesi (peer group) yang mengetahui siapa anggotanya yang mumpuni, memiliki kapasitas, berintegritas tinggi dan pantas untuk menjadi anggota kolegium. Bukan pemerintah.
Tuduhan beberapa pihak yang mengatakan bahwa kolegium dan organisasi profesi merupakan badan yang super (superbody) bukan saja mengada-ada, akan tetapi juga benar-benar menyesatkan. Kolegium atau organisasi sejenis sebagai badan otonom yang independen dalam menetapkan standar pendidikan dan kompetensi serta menerbitkan sertifikat kompetensi anggotanya, juga ada di banyak negara di dunia, seperti Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) di Inggris, di Australia dan Selandia Baru ada RANZCOG, di Amerika Serikat ada American Board of Medical Specialties (ABMS). Semua organisasi ini dibentuk secara independen oleh kelompok profesi terkait dan sama sekali tidak ada campur tangan pemerintah.
Dari uraian di atas jelas bahwa peran dan tugas kolegium sama sekali terpisah dari peran pemerintah yang secara administratif mengatur regulasi dan jalannya pelayanan kesehatan di suatu negara, sedangkan kolegium bertanggung jawab terhadap kompetensi profesional dan disiplin seorang dokter dalam melayani masyarakat. Sertifikasi terhadap seorang dokter atau dokter gigi sepenuhnya merupakan otoritas kolegium, sedangkan penerbitan surat izin praktik (SIP) adalah otoritas pemerintah.
Lantas, bagaimana pula kaitan antara datangnya dokter-dokter asing dengan upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan reproduksi wanita? Banyak pihak telah memprediksi bahwa impor dokter asing bukanlah jawaban yang tepat untuk memperbaiki derajat kesehatan rakyat. Tetapi yang jelas, sejumlah peraturan telah diterbitkan dan memberikan kemudahan untuk masuknya dokter-dokter asing itu. UU Kesehatan yang disahkan oleh DPR pada 11 Juli 2023 justru memberikan kelonggaran aturan bagi dokter asing dan dokter WNI diaspora yang hendak kembali ke tanah air, sesuai dengan Pasal 233.
Walaupun disyaratkan bagi dokter asing yang ingin bekerja di Indonesia harus menjalani adaptasi dan uji kompetensi serta memiliki STR-sementara dan Surat Izin Praktek (SIP), namun bagi dokter asing yang sudah lulus pendidikan spesialis ternyata mereka bisa dikecualikan dari persyaratan tersebut. Tambahan lagi mereka diperbolehkan untuk berpraktek tanpa harus mendapat rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Selama ini, sebelum mengajukan permohonan ke Kemenkes untuk memperoleh, para dokter wajib mengantongi rekomendasi dari IDI berupa STR. Sejumlah organisasi profesi menyatakan penolakan atas UU tersebut, karena adanya pasal-pasal yang kontroversial di dalamnya. Antara lain Pasal 314 ayat 2 yang menyatakan setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi; ternyata pada kenyataannya tidak demikian. Butir kontroversial juga ada dalam Pasal 206 yang menyatakan standar pendidikan kesehatan dan kompetensi disusun oleh Menteri.
Selanjutnya, Pasal 239 ayat 2 mengatur Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang merupakan badan independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, akan beralih untuk bertanggung jawab kepada Menteri. Pasal 462 ayat 1 mengatakan bahwa dokter atau paramedis (tenaga kesehatan) yang melakukan kelalaian dapat dipidana. Luar biasa keberpihakan pemerintah kepada dokter-dokter asing dan diaspora WNI, sementara untuk tenaga kesehatan lulusan dalam negeri ancaman yang ada atas kelalaian tindakan adalah tuntutan pidana.
Profesi kedokteran, sebagai induk dari cabang-cabang ilmu kedokteran termasuk obstetri dan ginekologi, adalah profesi yang luhur. Kita mengenal ungkapan dalam bahasa Latin “primum non nocere” (above all, do no harm). Prinsip untuk tidak mencelakai atau mencederai seseorang ini juga berlaku di dalam praktik kebidanan dan penyakit kandungan. Kedokteran adalah profesi yang menolong. Pelayanan kepada pasien adalah kepedulian, bukan jual beli yang mencari untung. Oleh karena itu pendidikan ilmu kedokteran tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga etika. Tujuan pendidikan kedokteran adalah menghasilkan dokter yang harus selalu kompeten dengan terus memperbaharui pengetahuan dan keterampilannya demi penyelenggaraan praktik kedokteran yang mengutamakan patient safety.
Salah satu faktor yang menambah kerumitan dalam masalah pendidikan dan praktik profesi kedokteran di Indonesia adalah masih banyaknya yang mencampur adukkan dan rancu antara kesehatan dengan kedokteran. Akibatnya orang yang seharusnya mengurus masalah kesehatan boleh jadi malahan sibuk mencampuri urusan kedokteran. Semakin ruwet upaya penanganan masalah pendidikan kedokteran di negara kita karena banyaknya campur tangan pihak atau orang yang merasa tahu dan mampu, tetapi sesungguhnya tidak.
Siapa yang paling pas untuk menjadi pengajar ilmu kedokteran? Yang paling tepat tentulah mereka yang menguasai ilmu kedokteran di samping memiliki ilmu pendidikan, yaitu dosen di perguruan tinggi kedokteran. The right man on the right place. William C. Kirby dalam bukunya yang berjudul “Empires of Ideas” menekankan pentingnya kampus sebagai lokomotif untuk kemajuan suatu bangsa. Universitas modern dimulai di Jerman dengan lahirnya research university yang berintegrasi dengan model pendidikan liberal, seperti Universitas Berlin dan Free University di Berlin. Banyak alumni perguruan tinggi di Jerman yang menjadi peraih nobel.
Pada abad ke-20, Amerika Serikat mengungguli Jerman sebagai juara dalam pendidikan tinggi dengan universitas-universitas seperti Harvard, Duke dan University of California, Berkeley menjadi motornya. Kirby juga menengarai kebangkitan pendidikan tinggi di Cina pasca-revolusi kebudayaan. Universitas Tsinghua, Universitas Nanjing dan University of Hong Kong diperhitungkan akan membawa Cina untuk mengancam kedudukan Amerika Serikat sebagai pemimpin pendidikan tinggi di dunia pada abad ke 21. Sudah barang tentu guna mencapai kemajuan itu dibutuhkan rektor yang cerdas, visioner serta memiliki keberanian untuk menegakkan kebenaran, apa pun kendala yang dihadapi, termasuk tekanan dari pihak penguasa.
Sebelum mengakhiri orasi ini, saya teringat akan pepatah petitih Jawa yang dinukil oleh Presiden Suharto, ojo rumongso bisa nanging kudu bisa rumongso. Jangan merasa bisa tetapi sebaiknya bisa merasa. Seandainya kepada kita diajukan pertanyaan “Jika Anda diminta memimpin suatu perusahaan, katakanlah suatu bank, beranikah Anda?” Saya yakin mayoritas kita akan menjawab “Ya, saya berani,” berdasarkan pengalaman pendidikan selama menjadi residen obgin yang menempa kita untuk berani menghadapi tantangan beserta segala risikonya.
Namun tatkala kita ditanya “Bersediakah jika Anda sekarang diminta untuk memimpin Bank ini?,” maka saya pikir kita, dengan berbekalkan kearifan selama menjadi mahasiswa dan dokter, akan menjawab “Maaf, bukannya menolak, tetapi saya kira ada yang lebih tepat memimpin Bank ini, yaitu para bankir, yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu ekonomi dan/atau perbankan.” Pola pikir seperti inilah yang saya rasa menyebabkan Jenderal Edi Sudradjat melontarkan semboyan “back to basics” untuk jajaran ABRI ketika itu.
Saya berharap semoga para pengajar ilmu kedokteran, khususnya obstetri dan ginekologi, mampu melaksanakan trilogi ajaran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa “ing ngarsa sung tulada (di depan memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat), tut wuri handayani (di belakang mengikuti dan mendukung)” yang maknanya: seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang-orang di sekelilingnya, mampu menumbuhkan semangat swakarsa bagi para pengikutnya, dan mampu mendorong orang-orang yang dipimpin agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Akhir kata saya percaya bahwa Bapak/Ibu para pengajar dan pendidik obstetri dan ginekologi yang saya hormati adalah guru-guru yang baik, guru yang pantas dan layak untuk digugu dan ditiru. In syaa Allah.