Profesi Obstetri dan Ginekologi di Indonesia: Back to Basics?
Ditulis oleh: Prof. dr. Herman Susanto, Sp.OG, Subsp.Onk
Slogan “Back to Basics” bergema pada era Orde Baru ketika Panglima ABRI sekaligus Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Edi Sudradjat menyerukan gerakan itu kepada segenap anggota TNI, waktu itu disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Banyak orang beranggapan bahwa KASAD bermaksud menggiring anggota ABRI kembali ke barak. Dengan berkelakar Edi menjawab bahwa umumnya tentara tidak punya barak, bahkan dikatakannya tentara itu “pastur”, akronim dari di tepas batur. Artinya mereka tidak memiliki tempat kediaman sendiri sehingga biasa tinggal di teras (tepas, dalam bahasa Sunda) rumah orang lain (batur, dalam Bahasa Sunda).
Ternyata yang Jenderal Edi maksudkan dengan istilah “Back to Basics” adalah mengembalikan profesionalisme kepada seluruh jajaran anggota TNI. Slogan itu kemudian dilanjutkan oleh Jenderal Wismoyo Arismunandar. Namun tampaknya seruan tadi tidak populer di kalangan petinggi ABRI, entah apa sebabnya. Sejarah menunjukkan slogan tersebut tidak banyak memberikan pengaruh dalam perkembangan TNI.
Ingatan saya otomatis kembali ke slogan itu saat saya mendengarkan ceramah advokat Dindin Maolani, SH mengenai kedudukan dokter dalam kondisi terkini. Diceritakannya tentang bagaimana dahulu masyarakat begitu menghargai profesi dokter. Orang-orang bahkan memasang iklan di surat-surat kabar untuk menyampaikan terima kasih kepada dokter-dokter yang telah menjadi jalan untuk sembuhnya keluarga mereka. Bahkan ketika anggota keluarga meninggal dunia pada saat menjalani proses pengobatan, mereka tetap mengungkapkan rasa terima kasih di dalam iklan di media cetak. Masyarakat mengerti bahwa tenaga medis dan paramedis telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan untuk mengupayakan kesembuhan bagi pasien- pasien mereka, namun mereka pun sadar bahwa yang menentukan kesembuhan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Hal itu sangat berlainan dengan kondisi sekarang. Seringkali keluarga pasien tidak hanya alpa berterima kasih, bahkan mungkin malahan mengajukan tuntutan kepada pihak-pihak yang mereka rasa telah mengakibatkan perburukan kondisi kesehatan dan kematian anggota keluarga mereka. Lantas, apa yang salah dengan dunia kedokteran di tanah air saat ini? Atau dalam kalimat lain, adakah yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan martabat dan marwah profesi kesehatan, khususnya kedokteran agar memperoleh penghormatan dan penghargaan seperti tempo doeloe? Haruskah kita kembali ke basis kita untuk mencapai itu?
Performa Profesi Obstetri dan Ginekologi di Indonesia
Republik Indonesia didirikan dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 H ayat 1 menyatakan hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Adalah tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, seperti yang dinyatakan oleh Pasal 34 ayat 3 UUD 1945.
Fasilitas pelayanan kesehatan membutuhkan tidak hanya prasarana bangunan dan sarana fisik untuk tindakan diagnostik dan terapeutik melainkan juga sumber daya manusia profesional bidang kesehatan seperti dokter, dokter spesialis, serta bidan dan perawat sesuai dengan standar yang disepakati. Sebagai salah satu tenaga kesehatan dokter memiliki peran sentral, karena diharapkan menjadi penggerak untuk memajukan kesehatan masyarakat.
Di dalam dunia obstetri dan ginekologi tugas pokok kita semua adalah menjaga kesehatan reproduksi wanita di dalam dan di luar kondisi hamil, melahirkan dan nifas. Sejauh mana keberhasilan kita dalam bidang obstetri sedikit banyak tercermin dari angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB), yang merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan dan menilai tingkat kemampuan penyelenggara pelayanan kesehatan di suatu negara. Angka kematian ibu merupakan indikator sensitif yang menunjukkan kualitas kesehatan suatu negara karena AKI menggambarkan hasil interaksi dari pelbagai aspek, baik aspek klinis (kualitas dan kuantitas tenaga medis dan tenaga kesehatan, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan) maupun aspek sistem pelayanan kesehatan.
Baca Juga: Perlukah Gerakan Back to Basics dalam Profesi Obstetri dan Ginekologi di Indonesia?
Hingga saat ini angka kematian ibu di Indonesia masih berada di kisaran 305 per 100.000 kelahiran hidup, jauh dari target yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan yakni 183 per 100.000 di tahun 2024. Diperkirakan Indonesia akan sangat sulit dapat mencapai target yang ditetapkan oleh Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yaitu AKI 70 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 12 per 1.000 kelahiran hidup. Akankah angka-angka kematian tadi turun dengan mendatangkan dokter-dokter asing ke Indonesia? Kita semua paham bahwa itu semua merupakan tugas berat yang seyogyanya menjadi fokus dari agenda kegiatan Kementerian Kesehatan saat ini.
Bagaimana dengan ranah penelitian? Sungguh membuat kita berbesar hati dengan semakin banyaknya artikel hasil penelitian anggota POGI yang dimuat di jurnal-jurnal internasional bereputasi. Memenuhi tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan maka hampir seluruh makalah penelitian kita dari semua divisi di departemen obstetri dan ginekologi mengandung muatan biomolekuler. Namun tidak cukup banyak penelitian epidemiologi atau operation research yang berhubungan langsung dengan upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian perinatal. Gambaran penelitian kita dewasa ini banyak menekankan pentingnya kemajuan ilmu dan teknologi, tetapi mungkin kurang mengedepankan tujuan penurunan angka kematian ibu dan angka kematian perinatal.
Pendidikan dalam profesi obstetri dan ginekologi. Aspek inilah yang sesungguhnya sangat mempengaruhi saya memilih judul orasi ini. Sudah sepantasnya kita bersyukur karena sekarang fasilitas dan sistem pendidikan obstetri dan ginekologi yang sudah tertata dengan baik dapat dinikmati oleh para peserta didik. Kemewahan itu tidak didapat secara instan melainkan melewati perjalanan panjang. Para SpOG yang telah pensiun tentu masih ingat akan situasi dan kondisi pendidikan ketika menjadi asisten, sebutan untuk residen kala itu kebidanan.
Pada dasarnya kita belajar dari guru-guru kita melalui proses pembelajaran secara magang. Umumnya seorang calon spesialis mengikuti apa saja yang dikerjakan oleh senior atau pendidiknya. Dengan sistem pendidikan seperti itu bukan hanya ilmu dan keterampilan yang kita peroleh tetapi juga attitude dan akhlak baik dari para guru; sudah tentu kebiasaan guru yang kurang baik juga boleh jadi ikut diturunkan. Ketika kinerja kita dinilai telah mencukupi sebagai seorang dokter kebidanan, maka guru akan meluluskan kita sebagai seorang spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Pada era awal pendidikan obgin sistem “nyantrik” seperti itu belum memiliki kurikulum yang baku; kegiatan akademik seperti penulisan karya ilmiah, journal reading dan kegiatan pendidikan yang terstruktur dan berkesinambungan belum ada atau belum lengkap.
Dengan metode pendidikan secara magang maka masuk akal kalau kemampuan dan kinerja para lulusan program spesialis kebidanan di Indonesia cukup bervariasi. Menyadari kekurangan ini maka Pengurus Pusat POGI bersama dengan Kolegium Obstetri Ginekologi Indonesia menginisiasi upaya standardisasi pengetahuan dan kompetensi SpOG dengan memberlakukan ujian nasional di setiap pusat pendidikan yang menghadirkan seorang penguji tamu dari senter pendidikan lain.
Secara bertahap sistem ujian nasional disempurnakan sehingga akhirnya dilaksanakan ujian nasional secara terpusat dengan penguji dari seluruh senter pendidikan obstetri dan ginekologi, bahkan dengan mengundang penguji tamu dari kolegium negara asing khususnya dari Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) Inggris dan Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists (RANZCOG) Australia dan Selandia Baru, serta dari beberapa negara sahabat.
Pada mulanya pendidikan obgin diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan pelayanan, seperti yang terjadi di pusat-pusat pendidikan di Indonesia seperti di FK UGM Yogyakarta, FKUI Jakarta dan FK Unair Surabaya. Memahami banyak dan rumitnya tugas-tugas yang diemban oleh kementerian kesehatan dan di sisi lain menyadari pentingnya pendidikan ilmu kebidanan dan penyakit kandungan diampu oleh lembaga khusus yang lebih tepat disertai tanggung jawab penuh maka pada tahun 1960 Departemen Kesehatan menyerahkan Rumah Sakit Kesehatan Ibu dan Anak Mangkuyudan sebagai lahan pendidikan kepada Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Peristiwa serupa terjadi di Bandung dengan diserahkannya pengelolaan Klinik Tamblong dan Bagian Kebidanan Rumah Sakit Astana Anyar sebagai tambahan dari Bagian Kebidanan RS Dr.Hasan Sadikin kepada Bagian Obgin FK Unpad untuk dimanfaatkan sebagai tempat pendidikan obstetri dan ginekologi. Saya kira hal serupa juga terjadi di kota-kota lain. Boleh dikatakan, inilah salah satu langkah penting di dalam sejarah pendidikan obstetri dan ginekologi di Indonesia, yakni dipercayakannya amanat untuk mendidik calon spesialis obstetri dan ginekologi kepada para pengajar di Bagian Obstetri dan Ginekologi dari Fakultas Kedokteran suatu Universitas, baik staf Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun sebagai staf Departemen Kesehatan.
Mengacu kepada tujuan utama pelayanan kebidanan dan penyakit kandungan yakni optimalisasi kesehatan reproduksi wanita Indonesia kiranya kita sepakat bahwa tulang punggung pemangku profesi obgin adalah para SpOG non konsultan, yang sering disebut “SpOG Umum.” Alhamdulillah banyak kegiatan yang dilakukan oleh POGI baik di tingkat Pusat maupun Cabang dengan SpOG Umum sebagai sasaran utama atau subyeknya. Sebagai contoh adalah bermacam pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta dalam pemanfaatan USG sebagai pemeriksaan penunjang yang penting, pelatihan tentang deteksi dini kanker serviks, operasi pada atonia uteri, lokakarya tentang teknik-teknik untuk mencegah dan menangani perdarahan pada operasi ginekologi, bermacam terapi pada gangguan haid dan pencegahan serta penanganan ruptur jalan lahir.
Semuanya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan SpOG Umum, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan angka kesakitan dan kematian maternal. Sebagai anggota Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) saya sampaikan apresiasi kepada pengurus HOGI yang telah berhasil membawa anggotanya mencapai kinerja setara dengan para mitra di negara maju dengan mengadakan kegiatan konferensi dalam bentuk Tumor Board, tanpa mengabaikan tugas untuk berbagi ilmu dengan para SpOG Umum melalui zoom webinar dalam acara “ASK (Apa Saja Kutanya) HOGI.”
Dengan pemikiran di atas maka judul orasi ini “Profesi Obstetri dan Ginekologi di Indonesia: Back to Basics?” saya akhiri dengan tanda tanya, bukan tanda seru, karena sudah cukup banyak program POGI dan himpunan-himpunan yang mengusung peran SpOG Umum.